~SEMOGA BERMANFAAT BAGI TEMAN-TEMAN YANG YANG SEPROFESI~

Jumat, 29 April 2011

ASFIKSIA SEDANG

LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN
Asfiksia neonatorium adalah keadaan bayi lahir yang tidak dapat berapas secara spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut. (Sarwono Prawirohardjo, 1992).
Asfiksia adalah kegagalan untuk memulai dan melanjutkan pernapasan secara spontan dan dan teratur pada saat bayi baru lahir atau beberapa saat sesudah lahir (APN).
Asfiksia dibagi menjadi :
1) Asfiksia Berat (Nilai APGAR 0-3)
Resusitasi aktif dalam keadaan ini harus segera dilakukan. Langkah utama ialah memperbaiki ventilasi paru-paru dengan memberikan O2 secara tekanan langsung dan berulang-ulang. Bila setelah beberapa waktu pernapasan spontan tidak timbul dan frekuensi jantung menurun maka pemberian obat-obat lain serta massase jantung sebaiknya segera dilakukan.

2) Asfiksia ringan-sedang (Nilai APGAR 4-6)
Pernapasan aktif yang sederhana dapat dilakukan secara pernapasan kodok (frog breathing). Cara ini dikerjakan dengan melakukan pipa ke dalam jantung dan O2 dialirkan dengan kecepatan 1-2 liter dalam 1 menit. Agar saluran napas bebas, bayi diletakkan dengan kepapa dorsofleksi.
Pada pernapasan dari mulut ke mulut, mulut penolong diisi terlebih dahulu dengan O2 sebelum pernapasan. Peniupan dilakukan secara teratur dengan frekuensi 20-30 kali semenit dan diperhatikan gerakan pernapasan yang mungkin timbul. Jika terjadi penurunan frekuensi jantung dan tonus otot maka bayi dikatakan sebagai penderita asfiksia berat.

Tujuan melakukan tindakan terhadap bayi asfiksia adalah melancarkan kelangsungan pernafasan bayi yang menimbulkan sebagian besar terjadi pada waktu persalinan.

B. PENYEBAB ASFIKSIA
Beberapa keadaan pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ibu melalui plasenta berkurang sehingga aliran oksigen janin berkurang dan akibatnya terjadi gawat janin. Hal ini menyebabkan asfiksia bayi baru lahir.
Faktor-faktor dari keadaan ibu sebagai berikut :
a. Preeeklampsi dan eklampsi
b. Perdarahan abnormal
c. Partus lama / partus macet
d. Deman selama persalinan
e. Infeksi berat (malaria, sifilis, TBC, HIV)
f. Kehamilan post matur
Dilihat dari tali pusat dapat juga menjadi penyebab terjadinya asfiksia BBL adalah sebagai berikut :
a. Lilitan tali pusat
b. Tali puat pendek
c. Prolapsus tali pusat

Pada keadaan berikut, bayi mungkin mengalami asfiksia
a. Bayi premature
b. Persalinan sulit (letak sungsang, gemell, distosia, ekstraksi vakum, forcep)
c. Kelainan kongenital
d. Air ketuban bercampur mekonium

C. DIAGNOSIS
Asfiksia yang terjadi pada bayi merupakan kelanjutan dari hipoksia janin, Dianosis hiposia janin dapat dibuat dalam persalinan dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Hal ini berikut yang perlu mendapat perhatian :
a) Denyut Jantung Janin
Frekuensi normal adalah 120 sampai 160 denyutan dalam satu menit. Selama his frekuensi ini biasanya tetapi di luar his kembali lagi ke keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan tetapi apabila frekuensi turun di bawah sampai 100 di luar atau lebih jika teratur, hal ini merupakan tanda bahaya.

b) Mekonium dalam air ketuban
Mekonium pada presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus menimbulkan kewaspadaan.

Penilaian asfiksia BBL dalam melakukan resustasi ditentukan oleh tiga aspek yang sangat penting yaitu :
1. Pernapasan
2. Denyut jantung
3. Warna kulit

D. DASAR ASUHAN BBL
Dalam setiap persalinan penatalaksanaan BBL menganut prinsip, yang penting untuk kelangsungan hidup BBL, diantaranya :
1) Kering, Bersih dan Hangat
Sangat penting bagi semua bayi baru lahir untuk dijaga agar selalu tetap kering, bersih dan hangat untuk mencegah bayi hipotermi yang membahayakan.

2) Bebaskan dan Bersihkan Jalan Nafas
Bersihkan jalan nafas bayi dengan mengusap mukanya dengan kain atau kasa yang bersih dari darah dan lendir segera setelah kepala bayi lahir (masih di Perineum ibu). Apabila BBL tidak bernapas atau napas megap-megap maka penghisapan lendir amat penting sebagai bagian mutlak dari langkah awal resusitasi

3) Rangsangan Taktil
Mengeringkan tubuh bayi pada dasarnya adalah rangsangan untuk bayi adalah prosedur ini sudah vukup untuk merangsang usaha nafas.

4) ASI
Adalah sangat penting sekali bahwa BBL segera di beri ASI dini dalam 30 menit sesudah bayi lahir dan hanya diberikan ASI saja tidak diberikan lainnya.

E. PENATALAKSANAAN ASFIKSIA DENGAN TINDAKAN RESUSITASI BBL
Bila bayi tidak bernapas atau bernapas megap-megap sambil melakukan lebih awal :
1) Beritahukan ibu dan keluarga bayinya perlu bantuan nafas
2) Mintalah salah seorang keluarganya untuk mendampingi ibu memberi dukungan moral, menjaga ibu dan melaporkan bila ada perdarahan

Tahap I
Langkah awal perlu dilakukan dalam 30 detik langkah tersebut adalah :
1) Jaga bayi tetap hangat
a. Letakkan bayi di atas kain yang ada di atas perut ibu
b. Bungkus bayi dengan kain tersebut, potong tali pusat
c. Pindahkan bayi ke atas kain ditempat resusitasi
2) Atur posisi bayi
a. Baringkanlah bayi terlentang dengan kepala didekat penolong
b. Ganjal bahu agar kepala sedikit ekstensi
3) Isap Lendir
Gunakan alat penghisap lendir De Lee dengan cara sebagai berikut :
a. Isap lendir mulut dari mulut dulu kemudian hidung
b. Lakukan penghisapan saat alat penghisap ditarik keluar, jangan lebih dari 5 cm ke dalam mulut dan lebih dari 3 cm ke dalam hidung.
4) Keringkanlah dan Rangsang Bayi
a. Keringkanlah bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya dengan sedikit tekanan. Rangsangan ini dapat membantu BBL mulai bernafas sedikit tekanan. Rangsangan ini dapat membantu BBL mulai bernafas
b. Lakukan rangsangan taktil dengan beberapa cara
1. Menepuk atau menyentil telapak kaki
2. Menggosok perut, dada, punggung atau tungkai kaki dengan telapak tangan
5) Atur kembali posisi kepala bayi dan bungkus bayi
a. Ganti kain yang telah basah dengan kain yang ada di bawahnya
b. Bungkus bayi dengan kain tersebut, jangan menutupi muka, dada agar biasa memantau pernafasan bayi
c. Atur kembali posisi kepala bayi sehingga sedikit ekstensi
6) Lakukan Penilaian Bayi
Lakukan penilaian apakah bayi bernafas normal, atau tidak bernafas megap-megap
a. Bila bayi bernafas normal, berikan ibunya untuk disusui
b. Bila bayi tidak bernafas atau megap-megap mulai lakukan ventilasi

Tahap II : Ventilasi
Ventilasi adalah tahapan tindakan resusitasi untuk memasukan sejumlah volume udara ke paru-paru dengan tekanan positif untuk membawa aveoli perlu agar bayi bisa bernafas spontan dan teratur.
Langkah-langkah sebagai berikut :
1) Pasang sungkup
Pasang sungkup dan pegang agar menutupi mulut dan hidung bayi
2) Ventilasi 2 kali
a. Lakukan tiupan dengan tekanan 30 cm air
b. Lihatlah apakah dada bayi mengembangl. Bila dada tidak mengembang periksa posisi kepala, pastikan sudah ekstensi, periksa posisi sungkup dan pastikan tidak ada udara bocor dan periksa cairan atau ledir di mulut bila ada mengembang lakukan tahapan berikutnya.
3) Ventilasi 20 kali dalam 30 detik
a. Lanjutkan ventilasi tiap 20 x dalam 30 detik (dengan tekanan 20 cm air)
b. Hentikan ventilasi setiap 30 detik
c. Lakukanlah penelitian bayi, apakah bayi bernafas, bernafas tidak normal atau megap-megap
1. Bila bayi normal, hentikan ventilasi dan pantau bayi dengan seksama
2. Bila bayi tifak bernafas atau megap-megap, teruskan ventilasi 20 x dalam 30 detik, kemudian lakukan penilaian setiap 30 detik.
4) Siapkan rujukan bila bayi belum bernafas normal sesudah 2 menit ventilasi
a. Mintalah keluarga untuk mempersiapkan rujukan
b. Hentilan ventilasi sesudah 20 menit tidak berhasil

Tahap III : Asuhan Pasca Resusitasi
Asuhan pasca resusitasi adalah pelayanan kesehatan pasca resusitasi, yang diberikan baik kepada bayi baru lahir ataupun ibu dan keluarga setelah resusitasi berhasil sebaiknya bidan tinggal bersama ibu dan keluarga bayi untuk memantau bayi minimal 2 jam pertama
1) Bila pernapasan bayi dan warna kulitnya normal, berikan pada ibunya
a. Letakkan bayi di dada ibu dan selimuti keduanya dengan kain hangat
b. Anjurkan ibu menyusui bayinya dan membelainya
c. Lakukan asuhan neonatal normal
2) Lakukan pemantauan seksama terhadap bayi pasca resusitasi selama 2 jam pertama
a. Perhatikan tanda-tanda kesulitan bernafas pada bayi
1. Terikan dinding dada ke dalam nafas megap-megap, frekuensi nafas < 30 x/menit atau > 60 x/menit
2. Bayi kebiruan atau pucat
3. Bayi lemas
b. Pantau juga bayi yang berwarna pucat walaupun tampak bernafas
3) Jagalah agar bayi tetap hangat dan kering
Tunda memandikan bayi sampai 6 sampai 24 jam
4) Bila kondisi bayi memburuk
Perlu rujukan sesudah resusitasi










ASUHAN BAYI BARU LAHIR DENGAN ASFIKSIA SEDANG
TERHADAP BAYI Ny. A DI RB NURI MULYOJATI
METRO BARAT


I. Pengumpulan Data
Pada tanggal 15-03-2007 pukul 15.00 WIB
1) Identitas
Nama : Bayi Ny. A
Jenis kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 15-03-2007
Jam : 14.30 WIB
Anak ke : Satu
Alamat : Jl. Kenanga No. 10 16 C Metro

Nama Ibu : Ny. A Nama Ayah : Tn R.
Umur : 24 th Umur : 27 th
Pendidikan : DIII Pendidikan : S1
Agama : Islam Agama : Islam
Pekerjaan : PNS Pekerjaan : PNS
Alamat : Jl. Kenanga No. 10 Alamat : Jl. Kenanga No. 10
16 C Metro 16 C Metro



2) Keluhan Utama
Bayi Ny. A lahir dengan keadaan lemah, tidak menangis spontan, denyut jantung lemah, warna kulit pucat.

3) Riwayat Kesehatan
a. Riwayat persalinan sekarang
1. Usia kehamilan : 40 minggu
2. Lama persalinan :
Kala I : 5 jam
Kala II : 30 menit
Kala III : 20 menit
Kala IV : 2 jam setelah persalinan
Keadaan air ketuban : Jernih
Waktu pecah ketuban : Saat pembukaan lengkap
Jenis persalinan : Spontan
Lilitan tali pusat : Tidak ada
Episiotomi : ya
Obat-obat : Oxytosin
Ditolong oleh : Bidan






b. Nilai APGAR Score
No Aspek yang dinilai Menit Pertama
1
2
3
4
5 Appereance
Polse
Gramace
Activity
Respirasi 1
1
1
1
1
Jumlah 5


4) Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum :
Bayi lemah, tidak menangis
Pernapasan megap-megap
Denyut jantung lemah
Warna kulit : tubuh merah, akstremitas biru

b) Tanda-tanda Vital
Tem : 36,5 0 C BB : 2900 gr RR : 24 X/menit
Pols : 90 X/ Menit PB : 50 Cm Refleks: Babinsky negatif
a. Kepala
UUB : Cembung UUK : Cekung
Moulage : O Sucudenum : Tidak ada
Bentuk kepala : simetris keadaan tubuh : tidak ada kelamin

b. Mata
Bentuk mata : simetris Strabismus : tidak ada
Pupil mata : Normal Skelra : tidak ikterik
Keadaan : Bersih

c. Hidung
Bentuk : Simetris
Pernapasan cuping hidung : Ada
Keadaan : Kotor
Lubang hidung : Kotor
Pernapasan : Megap-megap

d. Mulut
Bentuk : Simetris Palatum : Normal
Reflek hisap : Lemah Bibir : Normal
Gusi : Normal

e. Telinga
Posisi : Simetris kanan dan kiri
Keadaan : Bersih tidak ada sumbatan

f. Leher
Pembesaran vena/kelenjar : tidak ada
Pergerakan leher : lemah
g. Dada
Posisi : Simetris Pols : 90x/menit
Mammae : Ada Pernapasan : 24x/menit
Warna kulit : Kemerahan Suara Dada : belum bersih

h. Perut
Posisi : Simetris
Tali pusat : Basah
Warna kulit : Kemerahan
Tidak ada pembesaran / benjolan

i. Punggung / Bokong
Tidak ada benjolan, fleksibilitas, tulang punggung baik

j. Ekstremitas
Jari tangan : Lengkap tanpa cacat
Posisi dan bentuk : Simetris kanan dan kiri
Jari kaki : Lengkap tanpa cacat
Pergerakan : Lemah
Warna kulit : Biru






k. Genetalia
Lengkap, terdapat labia mayora dan minora (positif), urema (positif), klitoris (positif). Jenis kelamin : Perempuan. Anus : (Positif) tidak ada sumbatan

l. Reflek
Menghisap (sucking) : Lemah
Reflek kaki (stapping) : Lemah
Menggemgam (graping) : Lemah
Reflek Moro : Ada tapi lemah

m. Ukuran Antropometri
BB : 2900 gr
TB : 50 cm
Lingkar Dada : 32 cm
Lila : 12 cm

c) Data Psikososial
Respon ibu terhadap anak : Ibu senang dengan kelahiran anaknya
Respon keluarga terhadap anak : Keluargapun senang dengan kelahiran
anak

5) Nutrisi
ASI belum diberikan
II. Interprestasi Data Dasar
1. Bayi lahir cukup bulan dengan Asfiksia sedang
Ds : Anak lahir tanggal 15 Maret 2007 pukul 14.30. persalinan spontan,
bayi bernafas megap-megap
Do : Keadaan umum : bayi lemah, tidak menangis
Pernafasan megap-megap
Denyut jantung lemah
Warna kulit : tubuh merah, ekstremitas biru
Tanda-tanda vital
BB : 2900 gr
TB : 20 cm
RR : 24x/menit
Apgar Score : 5

2. Masalah
1) Pemasukan oksigen yang tidak adekuat
2) Hipotermi
Dasar
1. Masih terdapat secret dalam mulut dan hidung
2. Nafas masih terdapat ronchi
3. Tubuh bayi terasa dingin

3) Kebutuhan
Dasar :
a) Mempertahankan suhu tubuh bayi agar tidak terjadi hipotermi
Dasar :
Bayi lahir tanggal 15 Maret 2007 pukul 14.30 WIB
Tubuh bayi masih basah oleh air ketuban
b) Resusitasi BBL
Dasar :
Bayi baru lahir
Pada mulut dan hidung terdapat secret
APGAR Score : 5
c) Perawatan Tali Pusat
Dasar :
Bayi lahir tanggal 15 Maret 2007 Pukul 14.30 WIB
Tali pusat masih basah
d) Pemberian ASI Eksklusif
Dasar :
Bayi baru lahir
Bayi belum diberi ASI





III. Antisipasi Diagnosa dan Masalah Potensial
a) Potensial terjadi hipotermi
Dasar : tubuh Bayi masih basah oleh air ketuban
b) Potensial perpindahan micro organisme
Dasar : Tali pusat masih basah
c) Potensial terjadi hipoglikemi
Dasar : Bayi belum mendapatkan ASI
d) Potensial terjadi asfiksia berat
Dasar : Bayi baru lahir dengan asfiksia sedang

IV. Kebutuhan Intevensi segera dan Kolaborasi
Tindakan segera : Melakukan tindakan resusitasi BBL
Kolaborasi : Dilakukan bila terjadi asfiksia berat dan infeksi tali pusat

V. Rencana Manajemen
1. Jelaskan kepada ibu tentang kondisi bayinya saat ini
a) Bayi mengalami asfiksia
b) Bayi memerlukan penanganan resusitasi
2. Gunakan teknik septik dan antiseptik.
a) Siapkan ruang dan pelengkapan resusitasi
b) Pakai pelindung diri untuk mencegah infeksi
c) Cuci tangan dengan 6 langkah

3. Cegah kehilangan panas
a) Bungkus bayi dengan handuk di atas perut ibu bila tali pusat panjang
b) Hidupkan radian warmer untuk menghangatkan bagian dada bayi

4. Lakukan pembebasan jalan nafas
a) Bebaskan jalan nafas
b) Letakkan bayi pada posisi yang benar
c) Lakukan slim zuinger dengan panjang selang < 3 cm pada hidung dan < 5cm pada mulut.
5. Lakukan rangsangan taktil
a) Usap-usap punggung, dada, abdomen, ekstremitas bayi atau
b) Sentil telapak kaki
6. Lakukan penilaian bayi
a) Perhatikan dan nilai nafas bayi
b) Hitung frekuensi, denyut jantung bayi
c) Nilai warna kulit bayi
7. Lakukan resusitasi BBL
b. Jaga bayi agar tetap hangat dan kering
c. Atrur posisi bayi dengan posisi terlentang dengan posisi kepala setengah ekstensi
d. Lakukan penghisapan lendir dengan alat penghisap lendir De Lee
e. Keringkan dan lakukan rangsangan taktil
f. Atur kembali posisi kepala bayi dan bungkus bayi
g. Lakukan penilaian apakah bayi menangis atau bernafas spontan dan teratur
h. Pasang sungkup sehingga menutupi hidung, mulut dan dagu
i. Lakukan ventilasi 2 x dengan tekanan 30 cm air, amati gerakkan dada bayi
j. Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 x dengan tekanan 20 cm air dalam 30 detik
k. Lanjutkan ventilasi hentikan tiap 30 detik dan lakukan penilaian bayi menangis atau bernafas spontan dan teratur
8. Lakukan perawatan tali pusat
a) Jepit tali pusat dengan dua buah klem
b) Potong tali pusat dengan gunting tali pusat
c) Bungkus tali pusat dengan kasa steril
d) Ajarkan pada ibu untuk perawatan tali pusat
e) Anjurkan ibu untuk melakukan perawatan tali pusat secara teratur
f) Lakukan evaluasi kemampuan ibu untuk mengulang
9. Berikan imunisasi pada bayi
a) Imunisasi hepatitis B
b) Pemberian salep / tetes mata :
1) Tetrasiklin 1%
2) Eritromisin 0,5%
3) Klorampenikol
Pemberian satu kali dalam 1 jam setelah bayi lahir, dengan 1 sampai 2 tetes.
c) Vitamin K untuk bayi cukup bulan dosisnya 1 mg/0,5 cc, untuk bayi kurang bulan 0,5 mg / ¼ cc.
10. Jelaskan pada ibu mengenai pentingnya ASI eksklusif.

VI. Implementasi Langsung
1) Menjelaskan pada ibu tentang kondisi bayinya saat ini
a) Bayi mengalamai asfiksia sedang yaitu kegagalan untuk memulai dan melanjutkan pernafasan secara spontan dan teratur pada saat bayi baru lahir atau beberapa saat setelah lahir
b) Bayi memerlukan penanganan resusitasi yaitu pemberian oksigen yang adekuat dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat vital lain.
2) Menggunakan teknik septik dan antiseptik dalam resusitasi
a) Memakai perlengkapan resusitasi :
1. Siapkan radian warmer untuk mengahangatkan tubuh bayi
2. Bengkok, kom, air hangat
3. Resusitasi set
4. Handuk, kain, bedong, bantalan
b) Memakai perlindungan diri
1. Memakai barak skort
2. Memakai masker
3. Memakai mitela
4. Memakai kacamata
5. memakai handscone
6. Memakai sepatu boot
c) Mencuci tangan dengan 6 langkah :
1. Mengusap telapak tangan
2. Mengusap sela-sela jari tangan
3. Mengusap jempol
4. Mengusap punggung tangan
5. Mengusap kuku
6. Membilas dengan air
3) Mempertahankan suhu tubuh bayi
1. Membungkus bayi dengan handuk kering dan bersih yang ada di atas perut ibu bila tali pusat panjang. Mengeringkan tubuh dan kepala bayi dengan handuk untuk menghilangkan air ketuban dan mencegah kehilangan suhu tubuh melalui evaporasi
2. Menghidupkan radian warmer untuk mengahangatkan bagian dada bayi dengan meletakkan bayi terlentang di bawah alat pemancar panas.
4) Melakukan pembebasan jalan nafas
a. Membersihkan jalan nafas dengan cara membersihkan mata, hidung, dan mulut bayi secara zig zag dengan kasa steril segera setelah lahir
b. Meletakkan bayi terlentang atau miring dengan leher agak ekstensi atau tengadah dengan meletakkan selimut atau handuk yang digulung di bawah bahu sehingga bahu terangkat 2-3 cm
c. Membersihkan jalan nafas dengan menghisap cairan amnion dan lendir dari mulut dan hidung menggunakan slim zuinger dengan panjang selang < 3 cm pada hidung dan < 5 cm pada mulut. Bila air ketuban bercampur mekonium maka penghisapan dari trakea diperlukan untuk mencegah aspirasi mekonium. Hisap dari mulut terlebih dahulu kemudian hisap dari hidung.
5) Melakukan rangsangan taktil
a. Usap-usap punggung bayi ke arah atas
b. Menyentil telapak kaki bayi untuk memberikan rangsangan yang dapat menimbulkan atau mempertahankan pernafasan
6) Melakukan penilaian bayi
a) Memperhatikan dan menilai pernafasan bayi
b) Menghitung frekuensi DJJ bayi
c) Menilai warna kulit bayi
7) Melakukan resusitasi BBL
a) Menjaga bayi agar tetap hangat dan kering
b) Mengatur posisi bayi dengan posisi terlentang dengan posisi kepala setengah ekstensi
c) Lakukan penghisapan lendir dengan alat penghisap lendir De Lee
d) Mengeringkan dan lakukan rangsangan taktil
e) Mengatur kembali posisi kepala bayi dan bungkus bayi
f) Melakukan penilaian apakah bayi menangis atau bernafas spontan dan teratur
g) Memasang sungkup sehingga menutupi hidung, mulut dan dagu
h) Melakukan ventilasi 2 x dengan tekanan 30 cm air, amati gerakkan dada bayi
i) Bila dada bayi mengembang, lakukan ventilasi 20 x dengan tekanan 20 cm air dalam 30 detik
j) Melanjutkan ventilasi hentikan tiap 30 detik dan lakukan penilaian bayi menangis atau bernafas spontan dan teratur
8) Melakukan perawatan tali pusat
a. Menjepit tali pusat dengan dua buah klem
b. Memotong tali pusat dengan gunting tali pusat
c. Membungkus tali pusat dengan kasa steril
d. Mengajarkan kepada ibu untuk perawatan tali pusat
e. Menganjurkan kepada ibu untuk melakukan perawatan tali pusat
f. Melakukan evaluasi kemampuan ibu untuk mengulang
9) Memberikan imunisasi pada bayi
a. Imunisasi hepatitis B.
b. Pemberian salep / tetes mata.
1. Tetrasiklin 1%
2. Eritromisin 0,5%
3. Klorampenikol
10) Menjelaskan kepada ibu mengenai pentingnya ASI eksklusif
a. Menganjurkan kepada ibu agar memberikan ASI eksklusif, dengan tidak memberi makanan lain selain ASI

VII. Evaluasi
1. Keadaan umum bayi baik, kesadaran baik
2. Bayi bernafas spontan
3. Tidak terjadi perubahan suhu
Temp : 36,5oC
RR : 24x/menit
4. Tali pusat terawat baik
5. Ibu mengerti mengenai pentingnya ASI eksklusif dan bersedia untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayinya







CATATAN PERKEMBANGAN

Hari Ke-2
Tanggal 16-03-2007
S : 1. Ibu menyatakan sudah melakukan yang dianjutkan
2. Ibu mengatakan sudah memberi ASI pada bayinya secara adekuat
3. Ibu mengatakan bahwa jalan nafas bayi sudah bersih dan teratur
4. Ibu mengatakan anaknya tempak sehat dan segera akan pulang

O : 1. Bayi baru lahir hari ke-2
2. Keadaan umum bayi baik
3. Tali pusat masih basah
4. Vital sign
a) Suhu : 37oC
b) RR : 26x/menit
c) Pols : 98x/menit
d) Refleks
1. Moro : Ada
2. Rooting : Ada
3. Isap : Ada
4. Menangis : Bayi menangis pada saat dirangsang
e) Warna kulit : Merah
5. Bayi sudah disusui oleh ibu
6. Eliminasi : BAK 5-6x/hari, BAB, 2x/hari
A : 1. Diagnosa
Bayi baru lahir hari ke-2
Dasar : a. Bayi lahir spontan pervaginam pada tanggal 15 Maret
2007 pukul 14.30 WIB
b. Bayi sudah mau minum ASI secara adekuat
2. Masalah
Tidak ada
3. Kebutuhan
a) Perawatan bayi sehari-hari
b) Pemenuhan nutrisi bayi
P : 1. Ajarkan pada ibu tentang perawatan bayu sehari-hari
2. Anjurkan ibu untuk memberikan ASI ekslusif pada bayi dari umur 0-6 bulan
3. Ajarkan pada ibu segera ketenaga kesehatan bila ada kelainan pada bayinya
4. Ajarkan pada ibu perawatan tali pusat




Hari Ke-7
Tanggal 23-03-2007
S : 1. Ibu mengatakan sudah melakukan yang dianjurkan
2. Ibu mengatakan sudah memberikan ASI eksklusif secara adekuat
O : 1. Bayi baru lahir hari ke-7
2. Keadaan umum bayi baik
3. Tali pusat sudah puput
4. Vital Sign
a) Moro : Ada
b) Rooting : Ada
c) Isap : Ada
5. Bayi sudah disusui oleh ibu
6. Eliminasi BAK 5-6x/hari, BAB 2x/hari
A : 1) Diagnosa
Bayi baru lahir hari ke-7
Dasar : a. Bayi lahir spontan pervaginam pada tanggal 15 Maret
2007 pukul 14.30 WIB
b. Bayi sudah mau minum ASI secara adekuat
2) Masalah
Tidak ada
3) Kebutuhan
a. Perawatan bayi sehari-hari
b. Pemenuhan nutrisi bayi
P : a) Ajarkan pada ibu tentang perawatan bayu sehari-hari
b) Anjurkan ibu untuk memberikan ASI ekslusif pada bayi dari umur 0-6 bulan
c) Ajarkan pada ibu segera ketenaga kesehatan bila ada kelainan pada bayinya
d) Ajarkan pada ibu perawatan tali pusat













Hari ke-14
Tanggal 06-04-2007
S : 1. Ibu mengatakan sudah melakukan yang dianjurkan
2. Ibu mengatakan sudah memberikan ASI eksklusif secara adekuat
O : Bayi baru lahir hari ke-7
Keadaan umum bayi baik
Tali pusat sudah puput
Vital Sign
a) Suhu : 37oC
b) : 25x/menit
c) Pols : 92x/menit
d) BB : 2900 kg
e) Reflek
Moro : ada
Rooting : ada
Isap : ada
f) Warna kulit Merah
Bayi sudah disusui oleh ibu
Eliminasi : BAK 5-6x/hari, BAB 2x/hari



A : Diagnosa
Bayi baru lahir hari ke-14
Dasar : a. Bayi lahir spontan pervaginam pada tanggal 15 Maret
2007 pukul 14.30 WIB
b. Bayi sudah mau minum ASI secara adekuat
Masalah
Tidak ada
Kebutuhan
a) Perawatan bayi sehari-hari
b) Pemenuhan nutrisi bayi
P : 1) Anjurkan ibu untuk memberikan ASI ekslusif pada bayi dari umur 0-6 bulan
2) Ajarkan pada ibu segera ke tenaga kesehatan bila ada kelainan pada bayinya
3) Anjurkan pada ibu untuk membawa bayinya ke posyandu untuk memantau tumbuh kembang bayinya
4) Ajarkan kepada ibu tentang pentingnya imunisasi




DAFTAR PUSTAKA

Prawirohardjo, Sarwono. 2002.Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta : YPB

Mochtar Rustam, MPH. 1998.Sinopsis Obstetri Jilid I. Jakarta EGC

Obstetri Williams. 1983. Bandung : Fakultas Kedokteran UNPAD


Sabtu, 09 April 2011

OBSTRUKSI USUS

A. Pengertian
Obstruksi usus adalah gangguan pada aliran normal isi usus sepanjang traktus
intestinal (Nettina, 2001). Obstruksi terjadi ketika ada gangguan yang
menyebabkan terhambatnya aliran isi usus ke depan tetapi peristaltiknya normal
(Reeves, 2001). Obstruksi usus merupakan suatu blok saluran usus yang
menghambat pasase cairan, flatus dan makanan dapat secara mekanis atau
fungsional (Tucker, 1998).
B. Etiologi
1. Mekanis
a. Adhesi/perlengketan pascabedah (90% dari obstruksi mekanik)
b. Karsinoma
c. Volvulus
d. Intususepsi
e. Obstipasi
f. Polip
g. Striktur
2. Fungsional (non mekanik)
a. Ileus paralitik
b. Lesi medula spinalis
c. Enteritis regional
d. Ketidakseimbangan elektrolit
e. Uremia
C. Jenis-jenis obstruksi
Terdapat 2 jenis obstruksi :
1. Obstruksi paralitik (ileus paralitik)
Peristaltik usus dihambat sebagian akibat pengaruh toksin atau trauma yang
mempengaruhi kontrol otonom pergerakan usus. Peristaltik tidak efektif,
suplai darah tidak terganggu dan kondisi tersebut hilang secara spontan
setelah 2 sampai 3 hari.
2. Obstruksi mekanik
Terdapat obstruksi intralumen atau obstruksi mural oleh tekanan ekstrinsik.
Obstruksi mekanik digolongkan sebagai obstruksi mekanik simpleks (satu
tempat obstruksi) dan obstruksi lengkung tertutup ( paling sedikit 2 obstruksi).
Karena lengkung tertutup tidak dapat didekompresi, tekanan intralumen
meningkat dengan cepat, mengakibatkan penekanan pebuluh darah, iskemia
dan infark(strangulasi). Sehingga menimbulkan obstruksi strangulata yang
disebabkan obstruksi mekanik yang berkepanjangan. Obstruksi ini tidak
mengganggu suplai darah, menyebabkan gangren dinding usus.
D. Manifestasi Klinik
1. Mekanika sederhana – usus halus atas
Kolik (kram) pada abdomen pertengahan sampai ke atas, distensi, muntah
empedu awal, peningkatan bising usus (bunyi gemerincing bernada tinggi
terdengar pada interval singkat), nyeri tekan difus minimal.
2. Mekanika sederhana – usus halus bawah
Kolik (kram) signifikan midabdomen, distensi berat,muntah – sedikit atau
tidak ada – kemudian mempunyai ampas, bising usus dan bunyi “hush”
meningkat, nyeri tekan difus minimal.
3. Mekanika sederhana – kolon
Kram (abdomen tengah sampai bawah), distensi yang muncul terakhir,
kemudian terjadi muntah (fekulen), peningkatan bising usus, nyeri tekan difus
minimal.
4. Obstruksi mekanik parsial
Dapat terjadi bersama granulomatosa usus pada penyakit Crohn. Gejalanya
kram nyeri abdomen, distensi ringan dan diare.
5. Strangulasi
Gejala berkembang dengan cepat; nyeri parah, terus menerus dan terlokalisir;
distensi sedang; muntah persisten; biasanya bising usus menurun dn nyeri
tekan terlokalisir hebat. Feses atau vomitus menjadi berwarna gelap atau
berdarah atau mengandung darah samar.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar x abdomen menunjukkan gas atau cairan di dalam usus
2. Barium enema menunjukkan kolon yang terdistensi, berisi udara atau lipatan
sigmoid yang tertutup.
3. Penurunan kadar serum natrium, kalium dan klorida akibat muntah;
peningkatan hitung SDP dengan nekrosis, strangulasi atau peritonitis dan
peningkatan kadar serum amilase karena iritasi pankreas oleh lipatan usus.
4. Arteri gas darah dapat mengindikasikan asidosis atau alkalosis metabolik.
F. Penatalaksanaan Medis/Bedah
1. Koreksi ketidakseimbangan cairan dan elektrolit :
2. Terapi Na+, K+, komponen darah
3. Ringer laktat untuk mengoreksi kekurangan cairan interstisial
4. Dekstrosa dan air untuk memperbaiki kekurangan cairan intraseluler
5. Dekompresi selang nasoenteral yang panjang dari proksimal usus ke area
penyumbatan; selang dapat dimasukkan dengan lebih efektif dengan pasien
berbaring miring ke kanan.
6. Implementasikan pengobatan unutk syok dan peritonitis.
7. Hiperalimentasi untuk mengoreksi defisiensi protein karena obstruksi kronik,
ileus paralitik atau infeksi.
8. Reseksi usus dengan anastomosis dari ujung ke ujung.
9. Ostomi barrel-ganda jika anastomosis dari ujung ke ujung terlalu beresiko.
10. Kolostomi lingkaran untuk mengalihkan aliran feses dan mendekompresi
usus dengan reseksi usus yang dilakukan sebagai prosedur kedua.
G. Pengkajian
1. Umum :
Anoreksia dan malaise, demam, takikardia, diaforesis, pucat, kekakuan
abdomen, kegagalan untuk mengeluarkan feses atau flatus secara rektal,
peningkatan bising usus (awal obstruksi), penurunan bising usus (lanjut),
retensi perkemihan dan leukositosis.
2. Khusus :
a. Usus halus
1) Berat, nyeri abdomen seperti kram, peningkatan distensi
2) Distensi ringan
3) Mual
4) Muntah : pada awal mengandung makanan tak dicerna dan kim;
selanjutnya muntah air dan mengandung empedu, hitam dan fekal
5) Dehidrasi
b. Usus besar
1) Ketidaknyamana abdominal ringan
2) Distensi berat
3) Muntah fekal laten
4) Dehidrasi laten : asidosis jarang
H. Diagnosa Keperawatan dan Intervensi
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual, muntah, demam dan
atau diforesis.
Tujuan : kebutuhan cairan terpenuhi
Kriteria hasil :
a. Tanda vital normal
b. Masukan dan haluaran seimbang
Intervensi :
a. Pantau tanda vital dan observasi tingkat kesadaran dan gejala syok
b. Pantau cairan parentral dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
c. Pantau selang nasointestinal dan alat penghisap rendah dan intermitten.
Ukur haluaran drainase setiap 8 jam, observasi isi terhadap warna dan
konsistensi
d. Posisikan pasien pada miring kanan; kemudian miring kiri untuk
memudahkan pasasse ke dalam usus; jangan memplester selang ke hidung
sampai selang pada posisi yang benar
e. Pantau selang terhadap masuknya cairan setiap jam
f. Kateter uretral indwelling dapat dipasang; laporkan haluaran kurang dari
50 ml/jam
g. Ukur lingkar abdomen setiap 4 jam
h. Pantau elektrolit, Hb dan Ht
i. Siapkan untuk pembedahan sesuai indikasi
j. Bila pembedahan tidak dilakukan, kolaborasikan pemberian cairan per oral
juga dengan mengklem selang usus selama 1 jam dan memberikanjumlah
air yang telah diukur atau memberikan cairan setelah selang usus diangkat.
k. Buka selang, bila dipasang, pada waktu khusus seusai pesanan, untuk
memperkirakan jumlah absorpsi.
l. Observsi abdomen terhadap ketidaknyamanan, distensi, nyeri atau
kekauan.
m. Auskultasi bising usus, 1 jam setelah makan; laporkan tak adanya bising
usus.
n. Cairan sebanyak 2500 ml/hari kecuali dikontraindikasikan.
o. Ukur masukan dan haluaran sampai adekuat.
p. Observasi feses pertama terhadap warna, konsistensi dan jumlah; hindari
konstipasi
2. Nyeri berhubungan dengan distensi, kekakuan
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan;
menyatakan nyeri pada tingkat dapat ditoleransi, menunjukkan relaks.
Intervensi :
a. Pertahankan tirah baring pada posisi yang nyaman; jangan menyangga
lutut.
b. Kaji lokasi, berat dan tipe nyeri
c. Kaji keefektifan dan pantau terhadap efek samping anlgesik; hindari
morfin
d. Berikan periode istirahat terencana.
e. Kaji dan anjurkan melakukan lathan rentang gerak aktif atau pasif setiap 4
jam.
f. Ubah posisi dengan sering dan berikan gosokan punggung dan perawatan
kulit.
g. Auskultasi bising usus; perhatikan peningkatan kekauan atau nyeri;
berikan enema perlahan bila dipesankan.
h. Berikan dan anjurkan tindakan alternatif penghilang nyeri.
3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen dan atau
kekakuan.
Tujuan : pola nafas menjadi efektif.
Kriteria hasil : pasien menunjukkan kemampuan melakukan latihan
pernafasan, pernafasan yang dalam dan perlahan.
Intervensi :
a. Kaji status pernafasan; observasi terhadap menelan, “pernafasan cepat”
b. Tinggikan kepala tempat tidur 40-60 derajat.
c. Pantau terapi oksigen atau spirometer insentif
d. Kaji dan ajarkan pasien untuk membalik dan batuk setiap 4 jam dan napas
dalam setiap jam.
e. Auskultasi dada terhadap bunyi nafas setiap 4 jam.
4. Ansietas berhubungan dengan krisis situasi dan perubahan status kesehatan.
Tujuan : ansietas teratasi
Kriteria hasil : pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini
dan mendemonstrasikan keterampilan kooping positif dalam menghadapi
ansietas.
Intervensi :
a. Kaji perilaku koping baru dan anjurkan penggunaan ketrampilan yang
berhasil pada waktu lalu.
b. Dorong dan sediakan waktu untuk mengungkapkan ansietas dan rasa
takut; berikan penenangan.
c. Jelaskan prosedur dan tindakan dan beri penguatan penjelasan mengenai
penyakit, tindakan dan prognosis.
d. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpa stres.
e. Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat.
Daftar Pustaka
Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa Setiawan dkk. Ed. 1.
Jakarta : EGC; 2001
Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001.
Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And
Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998
Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994
Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. I.
Jakarta : Salemba Medika; 2001


MENINGITIS

A. Definisi
Meningitis adalah radang pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medula
spinalis) dan disebabkan oleh virus, bakteri atau organ-organ jamur(Smeltzer, 2001).
Meningitis merupakan infeksi akut dari meninges, biasanya ditimbulkan oleh salah satu
dari mikroorganisme pneumokok, Meningokok, Stafilokok, Streptokok, Hemophilus
influenza dan bahan aseptis (virus) (Long, 1996).
Meningitis adalah peradangan pada selaput meningen, cairan serebrospinal dan spinal
column yang menyebabkan proses infeksi pada sistem saraf pusat (Suriadi & Rita, 2001).
B. Etiologi
1. Bakteri; Mycobacterium tuberculosa, Diplococcus pneumoniae (pneumokok),
Neisseria meningitis (meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus,
Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas
aeruginosa
2. Penyebab lainnya lues, Virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia
3. Faktor predisposisi : jenis kelamin lakilaki lebih sering dibandingkan dengan wanita
4. Faktor maternal : ruptur membran fetal, infeksi maternal pada minggu terakhir
kehamilan
5. Faktor imunologi : defisiensi mekanisme imun, defisiensi imunoglobulin.
6. Kelainan sistem saraf pusat, pembedahan atau injury yang berhubungan dengan sistem
persarafan
C. Klasifikasi
Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan
otak, yaitu :
1. Meningitis serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih.
Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya lues, Virus,
Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
2. Meningitis purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis.
Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokok), Neisseria meningitis
(meningokok), Streptococus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus
influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.
C. Patofisiologi
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan septikemia,
yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis,
anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen;
semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam
meningen dan di bawah korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran
darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat
meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral.
Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang terdiri
dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier oak), edema
serebral dan peningkatan TIK. Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh darah yang disebabkan oleh meningokokus.
D. Manifestasi klinis
Gejala meningitis diakibatkan dari infeksi dan peningkatan TIK :
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a) Rigiditas nukal ( kaku leher ). Upaya untuk fleksi kepala mengalami kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b) Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam keadan fleksi
kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c) Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi lutut dan
pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada salah satu sisi maka
gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang berlawanan.
4. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
5. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat eksudat
purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan karakteristik tanda-tanda
vital(melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi), pernafasan tidak teratur, sakit kepala,
muntah dan penurunan tingkat kesadaran.
6. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.
7. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia : demam tinggi tiba-tiba muncul,
lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati intravaskuler diseminata
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :
a) Meningitis bakterial : tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah
putih dan protein meningkat glukosa meningkat, kultur positip terhadap beberapa jenis
bakteri.
b) Meningitis virus : tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih
meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif, kultur virus
biasanya dengan prosedur khusus.
2. Glukosa serum : meningkat ( meningitis )
3. LDH serum : meningkat ( meningitis bakteri )
4. Sel darah putih : sedikit meningkat dengan peningkatan neutrofil ( infeksi bakteri )
5. Elektrolit darah : Abnormal .
6. ESR/LED : meningkat pada meningitis
7. Kultur darah/ hidung/ tenggorokan/ urine : dapat mengindikasikan daerah pusat infeksi atau mengindikasikan tipe penyebab infeksi
8. MRI/ skan CT : dapat membantu dalam melokalisasi lesi, melihat ukuran/letak
ventrikel; hematom daerah serebral, hemoragik atau tumor
9. Ronsen dada/kepala/ sinus ; mungkin ada indikasi sumber infeksi intra kranial.
F. Komplikasi
1. Hidrosefalus obstruktif
2. MeningococcL Septicemia ( mengingocemia )
3. Sindrome water-friderichen (septik syok, DIC,perdarahan adrenal bilateral)
4. SIADH ( Syndrome Inappropriate Antidiuretic hormone )
5. Efusi subdural
6. Kejang
7. Edema dan herniasi serebral
8. Cerebral palsy
9. Gangguan mental
10. Gangguan belajar
11. Attention deficit disorder
G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a) Biodata klien
b) Riwayat kesehatan yang lalu
(1) Apakah pernah menderita penyait ISPA dan TBC ?
(2) Apakah pernah jatuh atau trauma kepala ?
(3) Pernahkah operasi daerah kepala ?
c) Riwayat kesehatan sekarang
(1) Aktivitas
Gejala : Perasaan tidak enak (malaise). Tanda : ataksia, kelumpuhan, gerakan involunter.
(2) Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat kardiopatologi : endokarditis dan PJK. Tanda : tekanan darah
meningkat, nadi menurun, dan tekanan nadi berat, taikardi, disritmia.
(3) Eliminasi
Tanda : Inkontinensi dan atau retensi.
(4) Makanan/cairan
Gejala : Kehilangan nafsu makan, sulit menelan. Tanda : anoreksia, muntah, turgor kulit
jelek dan membran mukosa kering.
(5) Higiene
Tanda : Ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri.
(6) Neurosensori
Gejala : Sakit kepala, parestesia, terasa kaku pada persarafan yang terkena, kehilangan
sensasi, hiperalgesia, kejang, diplopia, fotofobia, ketulian dan halusinasi penciuman.
Tanda : letargi sampai kebingungan berat hingga koma, delusi dan halusinasi, kehilangan memori, afasia,anisokor, nistagmus,ptosis, kejang umum/lokal, hemiparese, tanda brudzinki positif dan atau kernig positif, rigiditas nukal, babinski positif,reflek abdominal menurun dan reflek kremastetik hilang pada laki-laki.
(7) Nyeri/keamanan
Gejala : sakit kepala(berdenyut hebat, frontal). Tanda : gelisah, menangis.
(8) Pernafasan
Gejala : riwayat infeksi sinus atau paru. Tanda : peningkatan kerja pernafasan.
2. Diagnosa keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen
dari patogen
b) Risiko tinggi terhadap perubahan serebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan
edema serebral, hipovolemia.
c) Risisko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/fokal, kelemahan
umum, vertigo.
d) Nyeri (akut) sehubungan dengan proses inflamasi, toksin dalam sirkulasi.
e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskular, penurunan
kekuatan
f) Anxietas berhubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
3. Intervensi keperawatan
a) Resiko tinggi terhadap penyebaran infeksi sehubungan dengan diseminata hematogen
dari patogen.
Mandiri
Beri tindakan isolasi sebagai pencegahan
Pertahan kan teknik aseptik dan teknik cuci tangan yang tepat.
Pantau suhu secara teratur
Kaji keluhan nyeri dada, nadi yang tidak teratur demam yang terus menerus
Auskultasi suara nafas ubah posisi pasien secara teratur, dianjurkan nfas dalam
Cacat karakteristik urine (warna, kejernihan dan bau )
Kolaborasi
Berikan terapi antibiotik iv: penisilin G, ampisilin, klorampenikol, gentamisin.
b) Resiko tinggi terhadap perubahan cerebral dan perfusi jaringan sehubungan dengan
edema serebral, hipovolemia.
Mandiri
Tirah baring dengan posisi kepala datar.
Pantau status neurologis.
Kaji regiditas nukal, peka rangsang dan kejang
Pantau tanda vital dan frekuensi jantung, penafasan, suhu, masukan dan haluaran.
Bantu berkemih, membatasi batuk, muntah mengejan.
Kolaborasi.
Tinggikan kepala tempat tidur 15-45 derajat.
Berikan cairan iv (larutan hipertonik, elektrolit ).
Pantau BGA.
Berikan obat : steoid, clorpomasin, asetaminofen
c) Resiko tinggi terhadap trauma sehubungan dengan kejang umum/vokal, kelemahan
umum vertigo.
Mandiri
Pantau adanya kejang
Pertahankan penghalang tempat tidur tetap terpasang dan pasang jalan nafas buatan
Tirah baring selama fase akut kolaborasi berikan obat : venitoin, diaepam,
venobarbital.
d) Nyeri (akut ) sehubungan dengan proses infeksi, toksin dalam sirkulasi.
Mandiri.
Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin di atas mata, berikan posisi yang
nyaman kepala agak tinggi sedikit, latihan rentang gerak aktif atau pasif dan masage otot
leher.
Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman(kepala agak tingi)
Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif.
Gunakan pelembab hangat pada nyeri leher atau pinggul
Kolaborasi
Berikan anal getik, asetaminofen, codein
e) Kerusakan mobilitas fisik sehubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
Kaji derajat imobilisasi pasien.
Bantu latihan rentang gerak.
Berikan perawatan kulit, masase dengan pelembab.
Periksa daerah yang mengalami nyeri tekan, berikan matras udsra atau air perhatikan
kesejajaran tubuh secara fumgsional.
Berikan program latihan dan penggunaan alat mobiluisasi.
f) Perubahan persepsi sensori sehubungan dengan defisit neurologis
Pantau perubahan orientasi, kemamapuan berbicara,alam perasaaan, sensorik dan proses
pikir.
Kaji kesadara sensorik : sentuhan, panas, dingin.
Observasi respons perilaku.
Hilangkan suara bising yang berlebihan.
Validasi persepsi pasien dan berikan umpan balik.
Beri kessempatan untuk berkomunikasi dan beraktivitas.
Kolaborasi ahli fisioterapi, terapi okupasi,wicara dan kognitif.
g) Ansietas sehubungan dengan krisis situasi, ancaman kematian.
Kaji status mental dan tingkat ansietasnya.
Berikan penjelasan tentang penyakitnya dan sebelum tindakan prosedur.
Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
Libatkan keluarga/pasien dalam perawatan dan beri dukungan serta petunjuk sumber
penyokong.
H. Evaluasi
Hasil yang diharapkan
1. Mencapai masa penyembuhan tepat waktu, tanpa bukti penyebaran infeksi endogen
atau keterlibatan orang lain.
2. Mempertahankan tingkat kesadaran biasanya/membaik dan fungsi motorik/sensorik,
mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil.
3. Tidak mengalami kejang/penyerta atau cedera lain.
4. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol dan menunjukkan postur rileks dan mampu
tidur/istirahat dengan tepat.
5. Mencapai kembali atau mempertahankan posisi fungsional optimal dan kekuatan.
6. Meningkatkan tingkat kesadaran biasanya dan fungsi persepsi.
7. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang dan mengungkapkan keakuratan
pengetahuan tentang situasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Alih Bahasa, I Made Kariasa, N
Made Sumarwati. Editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, Yasmin asih. Ed.3.
Jakarta : EGC.
2. Harsono.(1996).Buku Ajar Neurologi Klinis.Ed.I.Yogyakarta : Gajah Mada University
Press.
3. Smeltzer, Suzanne C & Bare,Brenda G.(2001).Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth.Alih bahasa, Agung Waluyo,dkk.Editor edisi bahasa Indonesia,
Monica Ester.Ed.8.Jakarta : EGC.
4. Tucker, Susan Martin et al. Patient care Standards : Nursing Process, diagnosis, And
Outcome. Alih bahasa Yasmin asih. Ed. 5. Jakarta : EGC; 1998.
5. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease Processes.
Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994.
6. Long, Barbara C. perawatan Medikal Bedah : Suatu Pendekatan Proses Keperawatan.
Bandung : yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan; 1996.


LUKA BAKAR (COMBUSTIO)

PENDAHULUAN
Luka bakar dapat mengakibatkan masalah yang kompleks yang dapat meluas melebihi
kerusakan fisik yang terlihat pada jaringan yang terluka secara langsung. Masalah
kompleks ini mempengaruhi semua sistem tubuh dan beberapa keadaan yang mengancam
kehidupan. Dua puluh tahun lalu, seorang dengan luka bakar 50% dari luas permukaan
tubuh dan mengalami komplikasi dari luka dan pengobatan dapat terjadi gangguan
fungsional, hal ini mempunyai harapan hidup kurang dari 50%. Sekarang, seorang
dewasa dengan luas luka bakar 75% mempunyai harapan hidup 50%. dan bukan
merupakan hal yang luar biasa untuk memulangkanpasien dengan luka bakar 95% yang
diselamatkan. Pengurangan waktu penyembuhan, antisipasi dan penanganan secara dini
untuk mencegah komplikasi, pemeliharaan fungsi tubuh dalam perawatan luka dan tehnik
rehabilitasi yang lebih efektif semuanya dapat meningkatkan rata-rata harapan hidup pada sejumlah klien dengan luka bakar serius.
Beberapa karakteristik luka bakar yang terjadi membutuhkan tindakan khusus yang
berbeda. Karakteristik ini meliputi luasnya, penyebab(etiologi) dan anatomi luka bakar.
Luka bakar yang melibatkan permukaan tubuh yang besar atau yang meluas ke jaringan
yang lebih dalam, memerlukan tindakan yang lebih intensif daripada luka bakar yang
lebih kecil dan superficial. Luka bakar yang disebabkan oleh cairan yang panas (scald
burn) mempunyai perbedaan prognosis dan komplikasi dari pada luka bakar yang sama
yang disebabkan oleh api atau paparan radiasi ionisasi. Luka bakar karena bahan kimia
memerlukan pengobatan yang berbeda dibandingkan karena sengatan listrik (elektrik)
atau persikan api. Luka bakar yang mengenai genetalia menyebabkan resiko nifeksi yang
lebih besar daripada di tempat lain dengan ukuran yang sama. Luka bakar pada kaki atau
tangan dapat mempengaruhi kemampuan fungsi kerja klien dan memerlukan tehnik
pengobatan yang berbeda dari lokasi pada tubuh yang lain. Pengetahuan umum perawat
tentang anatomi fisiologi kulit, patofisiologi luka bakar sangat diperlukan untuk
mengenal perbedaan dan derajat luka bakar tertentu dan berguna untuk mengantisipasi
harapan hidup serta terjadinya komplikasi multi organ yang menyertai.
Prognosis klien yang mengalami suatu luka bakar berhubungan langsung dengan lokasi
dan ukuran luka bakar. Faktor lain seperti umur, status kesehatan sebelumnya dan
inhalasi asap dapat mempengaruhi beratnya luka bakar dan pengaruh lain yang
menyertai. Klien luka bakar sering mengalami kejadian bersamaan yang merugikan,
seperti luka atau kematian anggota keluarga yang lain, kehilangan rumah dan lainnya.
Klien luka bakar harus dirujuk untuk mendapatkan fasilitas perawatan yang lebih baik
untuk menangani segera dan masalah jangka panjang yang menyertai pada luka bakar
tertentu.
Definisi
Luka bakar adalah suatu trauma yang disebabkan oleh panas, arus listrik, bahan kimia
dan petir yang mengenai kulit, mukosa dan jaringan yang lebih dalam (Irna Bedah RSUD
Dr.Soetomo, 2001).
Etiologi
1. Luka Bakar Suhu Tinggi(Thermal Burn)
a. Gas
b. Cairan
c. Bahan padat (Solid)
2. Luka Bakar Bahan Kimia (hemical Burn)
3. Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn)
4. Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury)
Fase Luka Bakar
A. Fase akut.
Disebut sebagai fase awal atau fase syok. Secara umum pada fase ini, seorang penderita
akan berada dalam keadaan yang bersifat relatif life thretening. Dalam fase awal
penderita akan mengalami ancaman gangguan airway (jalan nafas), brething (mekanisme
bernafas), dan circulation (sirkulasi). Gnagguan airway tidak hanya dapat terjadi segera
atau beberapa saat setelah terbakar, namun masih dapat terjadi obstruksi saluran
pernafasan akibat cedera inhalasi dalam 48-72 jam pasca trauma. Cedera inhalasi adalah
penyebab kematian utama penderiat pada fase akut.
Pada fase akut sering terjadi gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit akibat cedera
termal yang berdampak sistemik. Problema sirkulasi yang berawal dengan kondisi syok
(terjadinya ketidakseimbangan antara paskan O2 dan tingkat kebutuhan respirasi sel dan
jaringan) yang bersifat hipodinamik dapat berlanjut dengan keadaan hiperdinamik yang
masih ditingkahi denagn problema instabilitas sirkulasi.
B. Fase sub akut.
Berlangsung setelah fase syok teratasi. Masalah yang terjadi adalah kerusakan atau
kehilangan jaringan akibat kontak denga sumber panas. Luka yang terjadi menyebabkan:
1. Proses inflamasi dan infeksi.
2. Problempenuutpan luka dengan titik perhatian pada luka telanjang atau tidak berbaju
epitel luas dan atau pada struktur atau organ – organ fungsional.
3. Keadaan hipermetabolisme.
C. Fase lanjut.
Fase lanjut akan berlangsung hingga terjadinya maturasi parut akibat luka dan pemulihan
fungsi organ-organ fungsional. Problem yang muncul pada fase ini adalah penyulit
berupa parut yang hipertropik, kleoid, gangguan pigmentasi, deformitas dan kontraktur.
1. Diagnosa Keperawatan
Sebagian klien luka bakar dapat terjadi Diagnosa Utama dan Diagnosa Tambahan selama
menderita luka bakar (common and additional). Diagnosis yang lazim terjadi pada klien
yang dirawat di rumah sakit yang menderila luka bakar lebih dari 25 % Total Body
Surface Area adalah :
1. Penurunan Kardiak Output berhubungan dengan peningkatan permiabilitas kapiler.
2. Defisit Volume Cairan berhubungan dengan ketidak seimbangan elektrolit dan
kehilangan volume plasma dari pembuluh darah.
3. Perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Penurunan Kardiak Output dan
edema.
4. Ketidakefektifan Pola Nafas berhubungan dengan kesukaran bernafas (Respiratory
Distress) dari trauma inhalasi, sumbatan (Obstruksi) jalan nafas dan pneumoni.
5. Perubahan Rasa Nyaman : Nyeri berhubungan dengan paparan ujung syaraf pada kulit
yang rusak.
6. Gangguan Integritas Kulit berhubungan dengan luka bakar.
7. Potensial Infeksi berhubungan dengan gangguan integritas kulit.
8. Perubahan Nutrisi : Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh berhubungan dengan
peningkatan rata-rata metabolisme.
9. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan luka bakar, scar dan kontraktur.
10. Gangguan Gambaran Tubuh (Body Image) berhubungan dengan perubahan
penampilan fisik
Klien luka bakar mungkin dapat terjadi Diagnosa Resiko dari satu atau lebih Diagnosa
keperawatan berikut :
1. Ketidakefektifan coping keluarga berhubungan dengan kehilangan rumah, keluarga
atau yang lain.
2. Ketidakefektifan pertahanan coping individu berhubungan dengan situasi krisis.
3. Kecemasan berhubungan dengan ancaman kematian, situasi krisis dan kehilangan
pengendalian.
4. Takut berhubungan dengan nyeri, prosedur terapi dan keadaan masa depan yang tidak
diketahui.
5. Kelebihan cairan berhubungan dengan pemberian cairan intra vena yang terlalu
banyak.
6. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan nyeri, kontraktur dan kehilangan
fungsi pada ekstrimitas dan bagian tubuh lain.
7. Gangguan fungsi (disfungsi) seksual berhubungan dengan luka bakar perineum,
genetalia, payudara, imobilisasi, kelelahan, depresi dan gangguan dalam gambaran diri
(body image).
8. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri, cara pengobatan dan lingkungan yang
gaduh.
9. Isolasi sosial berhubungan dengan cara pengobatan dan perubahan dalam penampilan
fisik.
10. Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan gagal ginjal dan terapi obat.
11. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan pengaruh luka bakar.
Marilynn E. Doenges dalam Nursing care plans, Guidelines for planning and
documenting patient care mengemukakan beberapa Diagnosa keperawatan sebagai
berikut :
1 Resiko tinggi bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obtruksi
trakeabronkial;edema mukosa dan hilangnya kerja silia. Luka bakar daerah leher;
kompresi jalan nafas thorak dan dada atau keterdatasan pengembangan dada.
2 Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan Kehilangan cairan
melalui rute abnormal. Peningkatan kebutuhan : status hypermetabolik, ketidak cukupan
pemasukan. Kehilangan perdarahan.
3 Resiko kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan cedera inhalasi asap atau
sindrom kompartemen torakal sekunder terhadap luka bakar sirkumfisial dari dada atau
leher.
4 Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan Pertahanan primer tidak adekuat; kerusakan
perlinduingan kulit; jaringan traumatik. Pertahanan sekunder tidak adekuat; penurunan
Hb, penekanan respons inflamasi.
5 Nyeri berhubungan dengan Kerusakan kulit/jaringan; pembentukan edema. Manifulasi
jaringan cidera contoh debridemen luka.
6 Resiko tinggi kerusakan perfusi jaringan, perubahan/disfungsi neurovaskuler perifer
berhubungan dengan Penurunan/interupsi aliran darah arterial/vena, contoh luka bakar
seputar ekstremitas dengan edema.
7 Perubahan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status
hipermetabolik (sebanyak 50 % - 60% lebih besar dari proporsi normal pada cedera
berat) atau katabolisme protein.
8 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskuler, nyeri/tak
nyaman, penurunan kekuatan dan tahanan.
9 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan Trauma : kerusakan permukaan kulit
karena destruksi lapisan kulit (parsial/luka bakar dalam).
10 Gangguan citra tubuh (penampilan peran) berhubungan dengan krisis situasi; kejadian
traumatik peran klien tergantung, kecacatan dan nyeri.
11 Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan Salah interpretasi informasi Tidak mengenal sumber informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and suddart. (1988). Textbook of Medical Surgical Nursing. Sixth Edition. J.B.
Lippincott Campany. Philadelpia. Hal. 1293 – 1328.
Carolyn, M.H. et. al. (1990). Critical Care Nursing. Fifth Edition. J.B. Lippincott
Campany. Philadelpia. Hal. 752 – 779.
Carpenito,J,L. (1999). Rencana Asuhan Dan Dokumentasi Keperawatan. Edisi 2
(terjemahan). PT EGC. Jakarta.
Djohansjah, M. (1991). Pengelolaan Luka Bakar. Airlangga University Press. Surabaya.
Doenges M.E. (1989). Nursing Care Plan. Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ).
F.A. Davis Company. Philadelpia.
Donna D.Ignatavicius dan Michael, J. Bayne. (1991). Medical Surgical Nursing. A
Nursing Process Approach. W. B. Saunders Company. Philadelphia. Hal. 357 – 401.
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. volume 2,
(terjemahan). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Goodner, Brenda & Roth, S.L. (1995). Panduan Tindakan Keperawatan Klinik Praktis.
Alih bahasa Ni Luh G. Yasmin Asih. PT EGC. Jakarta.
Guyton & Hall. (1997). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta
Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Volume I. Penerbit
Buku Kedoketran EGC. Jakarta.
Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo Surabaya. (2001). Pendidikan
Keperawatan Berkelanjutan (PKB V) Tema: Asuhan Keperawatan Luka Bakar Secara
Paripurna. Instalasi Rawat Inap Bedah RSUD Dr. Soetomo. Surabaya.
Jane, B. (1993). Accident and Emergency Nursing. Balck wellScientific Peblications.
London.
Long, Barbara C. (1996). Perawatan Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan
Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Marylin E. Doenges. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3. Penerbit Buku
Kedoketran EGC. Jakarta.
R. Sjamsuhidajat, Wim De Jong. (1997). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi. Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Senat Mahasiswa FK Unair. (1996). Diktat Kuliah Ilmu Bedah 1. Surabaya.
Sylvia A. Price. (1995). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 4
Buku 2. Penerbit Buku Kedokteran Egc, Jakarta


Jumat, 08 April 2011

LEUKIMIA

A. PENGERTIAN
Leukemia adalah neoplasma akut atau kronis dari sel-sel pembentuk darah dalam
sumsum tulang dan limfa nadi (Reeves, 2001). Sifat khas leukemia adalah proliferasi
tidak teratur atau akumulasi ssel darah putih dalam sumusm tulang, menggantikan elemen sumsum tulang normal. Juga terjadi proliferasi di hati, limpa dan nodus limfatikus, dan invasi organ non hematologis, seperti meninges, traktus gastrointesinal, ginjal dan kulit.
B. ETIOLOGI
Penyebab yang pasti belum diketahui, akan tetapi terdapat faktor predisposisi yang
menyebabkan terjadinya leukemia yaitu :
1. Faktor genetik : virus tertentu meyebabkan terjadinya perubahan struktur gen ( T cell
leukemia-lymphoma virus/HTLV)
2. Radiasi ionisasi : lingkungan kerja, pranatal, pengobatan kanker sebelumnya
3. Terpapar zat-zat kimiawi seperti benzen, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen
anti neoplastik.
4. Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti diethylstilbestrol
5. Faktor herediter, misalnya pada kembar monozigot
6. Kelainan kromosom : Sindrom Bloom’s, trisomi 21 (Sindrom Down’s), Trisomi G
(Sindrom Klinefelter’s), Sindrom fanconi’s, Kromosom Philadelphia positif,
Telangiektasis ataksia.
C. JENIS LEUKEMIA
1. Leukemia Mielogenus Akut
AML mengenai sel stem hematopeotik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel Mieloid:
monosit, granulosit, eritrosit, eritrosit dan trombosit. Semua kelompok usia dapat terkena;
insidensi meningkat sesuai bertambahnya usia. Merupakan leukemia nonlimfositik yang
paling sering terjadi.
2. Leukemia Mielogenus Kronis
CML juga dimasukkan dalam sistem keganasan sel stem mieloid. Namun lebih banyak
sel normal dibanding bentuk akut, sehingga penyakit ini lebih ringan. CML jarang
menyerang individu di bawah 20 tahun. Manifestasi mirip dengan gambaran AML tetapi
tanda dan gejala lebih ringan, pasien menunjukkan tanpa gejala selama bertahun-tahun,
peningkatan leukosit kadang sampai jumlah yang luar biasa, limpa membesar.
3. Luekemia Limfositik Akut
ALL dianggap sebagai proliferasi ganas limfoblast. Sering terjadi pada anak-anak, lakilaki
lebih banyak dibanding perempuan, puncak insiden usia 4 tahun, setelah usia 15
ALL jarang terjadi. Manifestasi limfosit immatur berproliferasi dalam sumsum tulang
dan jaringan perifer, sehingga mengganggu perkembangan sel normal..
4. Leukemia Limfositik Kronis
CLL merupakan kelainan ringan mengenai individu usia 50 sampai 70 tahun. Manifestasi
klinis pasien tidak menunjukkan gejala, baru terdiagnosa saat pemeriksaan fisik atau
penanganan penyakit lain.
D. PATHWAY
E. TANDA DAN GEJALA
1. Aktivitas : kelelahan, kelemahan, malaise, kelelahan otot.
2. Sirkulasi :palpitasi, takikardi, mur-mur jantung, membran mukosa pucat.
3. Eliminsi : diare, nyeri tekan perianal, darah merah terang, feses hitam, penurunan
haluaran urin.
4. Integritas ego : perasaan tidak berdaya, menarik diri, takut, mudah terangsang,
ansietas.
5. Makanan/cairan: anoreksia, muntah, perubahan rasa, faringitis, penurunan BB dan
disfagia
6. Neurosensori : penurunan koordinasi, disorientasi, pusing kesemutan, parestesia,
aktivitas kejang, otot mudah terangsang.
7. Nyeri : nyeri abomen, sakit kepala, nyeri sendi, perilaku hati-hati gelisah
8. Pernafasan : nafas pendek, batuk, dispneu, takipneu, ronkhi, gemericik, penurunan
bunyi nafas
9. Keamanan : gangguan penglihatan, perdarahan spontan tidak terkontrol, demam,
infeksi, kemerahan, purpura, pembesaran nodus limfe.
10. Seksualitas : perubahan libido, perubahan menstruasi, impotensi, menoragia.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Hitung darah lengkap : menunjukkan normositik, anemia normositik
2. Hemoglobulin : dapat kurang dari 10 gr/100ml
3. Retikulosit : jumlah biasaya rendah
4. Trombosit : sangat rendah (<>


KUSTA

1. Pengertian
Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang menyerang saraf
perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya.
Lepra : Morbus hansen, Hamseniasis
Reaksi :Episode akut yang terjadi pada penderita kusta yang masih aktiv
disebabkan suatu interaksi antara bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati
dengan zat yang telah tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.

2. Etiologi
M. Leprae atau kuman Hansen adalah kuman penyebab penyakit kusta yang
ditemukan oleh sarjana dari Norwegia, GH Armouer Hansen pada tahun 1873.
Kuman ini bersifat tahan asam berbentuk batang dengan ukuran 1,8 micron, lebar
0,2-0,5 micron. Biasanya ada yang berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel terutama jaringan yang bersuhu dingin dan tidak dapat di kultur
dalam media buatan. Kuman ini dapat mengakibatkan infeksi sistemik pada
binatang Armadillo.
3. Patogenesis
Meskipun cara masuk M. Leprae ke tubuh belum diketahui pasti, beberapa
penelitian, tersering melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh bersuhu dingin
dan melalui mukosa nasal. Pengaruh M. Leprae ke kulit tergantung factor
imunitas seseorang, kemampuan hidup M. Leprae pada suhu tubuh yang rendah,
waktu regenerasi lama, serta sifat kuman yang Avirulen dan non toksis. M.
Leprae ( Parasis Obligat Intraseluler ) terutama terdapat pada sel macrofag sekitar
pembuluh darah superior pada dermis atau sel Schwann jaringan saraf, bila kuman
masuk tubuh tubuh bereaksi mengeluarkan macrofag ( berasal dari monosit darah,
sel mn, histiosit ) untuk memfagosit. Tipe LL ; terjadi kelumpuha system imun
seluler tinggi macrofag tidak mampu menghancurkan kuman dapat membelah diri
dengan bebas merusak jaringan. Tipe TT ; fase system imun seluler tinggi
macrofag dapat menghancurkan kuman hanya setelah kuman difagositosis
macrofag, terjadi sel epitel yang tidak bergerak aktif, dan kemudian bersatu
membentuk sel dahtian longhans, bila tidak segera diatasi terjadi reaksi berlebihan
dan masa epitel menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitar.
4. Klasifikasi Kusta
Menurut Ridley dan Joplin membagi klasifikasi kusta berdasarkan gambaran
klinis, bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
TT : Lesi berupa makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering
dan kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga yang
besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas, pertumbuhan
langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan uji lepramin ( + ) kuat.
BT : Lesi berupa makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan
jumlah 1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ) Lesi berupa mamakula/infiltrat
eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi ”punched out”
dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah dalam dan tidak
begitu jelas pada tepi luarnya. Gangguan sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada
sediaan apus kerokan jaringan kulit dan uji lepromin ( - ).
BL : Lesi infiltrat eritematosa dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral
tapi asimetris, gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji
Lepromin ( - ).
LL : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat, ukuran kecil, jumlah
sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat banyak pada kerokan jaringan
kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin ( - ).
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu :
Pansi Basiler (PB) : I, TT, BT
Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL
5. Gambaran Klinis
Menurut klasifikasi Ridley dan Jopling
Tipe Tuberkoloid ( TT )
Mengenai kulit dan saraf.
Lesi bisa satu atau kurang, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas,
regresi, atau, kontrol healing ( + ).
Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama dengan
psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf perifer yang teraba,
kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda adanya
respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
Tipe Borderline Tuberkoloid ( BT )
Hampir sama dengan tipe tuberkoloid
Gambar Hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT.
Gangguan saraf tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris.
Lesi satelit ( + ), terletak dekat saraf perifer menebal.
Tipe Mid Borderline ( BB )
Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai.
Lesi dapat berbentuk macula infiltrate.
Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang jelas, jumlah lesi melebihi
tipe BT, cenderung simetris.
Lesi sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya.
Bisa didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk oralpada
bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas tipe ini.
Tipe Borderline Lepromatus ( BL )
Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar ke seluruh
tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya, beberapa nodus
melekuk bagian tengah, beberapa plag tampak seperti punched out. Tanda
khas saraf berupa hilangnya sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat
dan gugurnya rambut lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan
saraf yang dapat teraba pada tempat prediteksi.
Tipe Lepromatosa ( LL )
Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma, berkilap, batas
tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan anhidrosis pada stadium dini.
Distribusi lesi khas :
Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
Badan : bahian belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
Stadium lanjutan :
Penebalan kulit progresif
Cuping telinga menebal
Garis muka kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai
madarosis, intis dan keratitis.
Lebih lanjut
Deformitas hidung
Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi, testis
Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
Penyakit progresif, makula dan popul baru.
Tombul lesi lama terjadi plakat dan nodus.
Stadium lanjut
Serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin/fibrosis menyebabkan
anestasi dan pengecilan tangan dan kaki.
Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi Redley &
Jopling)
Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar normal.
Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka, kadang-kadang dapat
ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan saraf.
Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
Sebagian sembuh spontan.
Gambaran klinis organ lain
Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana
Tulang & sendi : absorbsi, mutilasi, artritis
Lidah : ulkus, nodus
Larings : suara parau
Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
Kelenjar limfe : limfadenitis
Rambut : alopesia, madarosis
Ginjal : glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis interstitial.
6. Diagnosa Keperawatan
Gangguan konsep diri : HDR b/d inefektif koping indifidu
Gangguan rasa nyaman : nyeri b/d proses reaksi
Gangguan aktivitas b/d post amputasi
Resti injuri b/d invasif bakteri
Intervensi
Gangguan konsep diri : Harga diri rendah berhubungan dengan inefektif koping
indifidu
Tujuan : Klien dapat memnerima perubahan dirinya setelah diberi penjelasan
dengan kriteria hasil :
Klien dapat menerima perubahan dirinya
Klien tidak merasa kotor (selalu menjaga kebersihan)
Klien tidak merasa malu
Intervensi :
Bantu klien agar realistis, dapat menerima keadaanya dengan menjelaskan
bahwa perubahan fisiknya tidak akan kembali normal.
Ajarkan pada klien agar dapat selalu menjaga kebersihan tubuhnya dan latihan
otot tangan dan kaki untuk mencegah kecacatan lebih lanjut.
Anjurkan klien agar lebih mendekatkan pada Tuhan YME.
Gangguan rasa nyaman : nyeriberhubungan dengan luka amputasi
Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang setelah dilakukan
tindakan keperawatan, dengan kriteria hasil :
Klien merasakan nyeri berkurang di daerah operasi
Klien tenang
Pola istirahat-tidur normal, 7-8 jam sehari
Intervensi :
Kaji skala nyeri klien
Alihkan perhatian klien terhadap nyeri
Monitor keadaan umum dan tanda-tanda vital
Awasi keadaan luka operasi
Ajarkan cara nafas dalam & massage untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi untuk pemberian obat antibiotik dan analgetik.
Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan post amputasi
Tujuan : Klien dapat beraktivitas mandiri sesuai keadaan sekarang setelah
dilakukan tindakan keperaatan dengan kriteria hasil :
Klien dapat beraktivitas mandiri
Klien tidak diam di tempat tidur terus
Intervensi :
Motivasi klien untuk bisa beraktivitas sendiri
mengajarkan Range of Motion : terapi latihan post amputasi
Motivasi klien untuk dapat melakukan aktivitas sesuai dengan
kemampuannya.
Daftar Pustaka
Sjamsoe – Daili, Emmi S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia : Jakarta.
Stadar asuhan keperawatan RSUD Tugurejo Semarang. 2002. Ruang Kusta. Propinsi
Jawa Tangah
Sjamsuhidajat. R dan Jong, Wimde. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC :
Jakarta.


KATARAK

1. Definisi
Katarak adalah istilah kedokteran untuk setiap keadaan kekeruh an yang terjadi
pada lensa mata yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa),
denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat dari kedua-duanya. Biasanya
mengenai kedua mata dan berjalan progresif. Katarak menyebabkan penderita
tidak bisa melihat dengan jelas karena dengan lensa yang keruh cahaya sulit
mencapai retina dan akan menghasilkan bayangan yang kabur pada retina. Jumlah
dan bentuk kekeruhan pada setiap lensa mata dapat bervariasi.
2. Klasifikasi
a. Katarak dapat diklasifikasikan menjadi :
b. katarak Kongenital: Katarak yang sudah terlihat pada usia di bawah 1 tahun
c. Katarak Juvenil : katarak yang terjadi sesudah usia 1 tahun
d. Katarak Senil: katarak setelah usia 50 tahun
e. Katarak Trauma: Katarak yang terjadi akibat trauma pada lensa mata
3. Etiologi
Sebagian besar katarak terjadi karena proses degeneratif atau bertambahnya usia
seseorang. Usia rata-rata terjadinya katarak adalah pada umur 60 tahun keatas.
Akan tetapi, katarak dapat pula terjadi pada bayi karena sang ibu terinfeksi virus
pada saat hamil muda.
Penyebab katarak lainnya meliputi :
a. Faktor keturunan.
b. Cacat bawaan sejak lahir.
c. Masalah kesehatan, misalnya diabetes.
d. Penggunaan obat tertentu, khususnya steroid.
e. gangguan metabolisme seperti DM (Diabetus Melitus)
f. gangguan pertumbuhan,
g. Mata tanpa pelindung terkena sinar matahari dalam waktu yang cukup lama.
h. Rokok dan Alkohol
i. Operasi mata sebelumnya.
j. Trauma (kecelakaan) pada mata.
k. Faktor-faktor lainya yang belum diketahui.
4. Patofisiologi
Lensa mata mengandung tiga komponen anatomis an: nukleus korteks &
kapsul.nukleus mengalami perubahan warna coklat kekuningan seiring dengan
bertambahnya usia.disekitar opasitas terdapat densitas seperti duri dianterior &
posterior nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang
paling bermakna.perubahan fisik & kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya
transparansi.salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi
disertai infulks air kedalam lensa proses ini mematahkan serabut lensa yang
tegang & mengganggu transmisi sinar.teori lain mengatakan bahwa suatu enzim
mempunyai peranan dalam melindungi lensa dari degenerasi.jumlah enzim akan
menurun dg bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien menderita
katarak.
5. Manifestasi Klinik
Biasanya gejala berupa keluhan penurunan tajam pengelihatan secara progresif
(seperti rabun jauh memburuk secara progresif). Pengelihatan seakan-akan
melihat asap dan pupil mata seakan akan bertambah putih. Pada akhirnya apabila
katarak telah matang pupil akan tampak benar-benar putih ,sehingga refleks
cahaya pada mata menja di negatif (-).
Bila Katarak dibiarkan maka akan mengganggu penglihatan dan akan dapat
menimbulkan komplikasi berupa Glaukoma dan Uveitis.
Gejala umum gangguan katarak meliputi :
a. Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
b. Peka terhadap sinar atau cahaya.
c. Dapat melihat dobel pada satu mata.
d. Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
e. Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Keratometri.
b. Pemeriksaan lampu slit.
c. Oftalmoskopis.
d. A-scan ultrasound (echography).
e. Penghitungan sel endotel penting u/ fakoemulsifikasi & implantasi.
7. Pengobatan
Satu-satunya adalah dengan cara pembedahan ,yaitu lensa yang telah keruh
diangkat dan sekaligus ditanam lensa intraokuler sehingga pasca operasi tidak
perlu lagi memakai kaca mata khusus (kaca mata aphakia). Setelah operasi harus
dijaga jangan sampai terjadi infeksi.
Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah menurun sedemikian rupa
sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari atau bila telah menimbulkan penyulit
seperi glaukoma dan uveitis.
Tekhnik yang umum dilakukan adalah ekstraksi katarak ekstrakapsular, dimana
isi lensa dikeluarkan melalui pemecahan atau perobekan kapsul lensa anterior
sehingga korteks dan nukleus lensa dapat dikeluarkan melalui robekan tersebut.
Namun dengan tekhnik ini dapat timbul penyulit katarak sekunder. Dengan
tekhnik ekstraksi katarak intrakapsuler tidak terjadi katarak sekunder karena
seluruh lensa bersama kapsul dikeluarkan, dapat dilakukan pada yang matur dan
zonula zinn telah rapuh, namun tidak boleh dilakukan pada pasien berusia kurang
dari 40 tahun, katarak imatur, yang masih memiliki zonula zinn. Dapat pula
dilakukan tekhnik ekstrakapsuler dengan fakoemulsifikasi yaitu fragmentasi
nukleus lensa dengan gelombang ultrasonik, sehingga hanya diperlukan insisi
kecil, dimana komplikasi pasca operasi lebih sedikit dan rehabilitasi penglihatan
pasien meningkat.
8. Komplikasi
ambliopia sensori Penyulit yg terjadi berupa : visus tdk akan mencapai 5/5
Komplikasi yang terjadi : nistagmus dan strabismus
9. Pencegahan
Disarankan agar banyak mengkonsumsi buah-buahan yang banyak mengandung
vit.C ,vit.A dan vit E
DASAR DATA PENGKAJIAN PASIEN
1. Aktivitas/Istrahat
Gejala : Perubahan aktivitas biasanya/hobi sehubungan dengan gangguan
penglihatan
2. Neurosensori
Gejala : Gangguan penglihatan (kabur/tak jelas), sinar terang menyebabkan silau
dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan
kerja dengan dekat/merasa di ruang gelap.
Perubahan pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.
Tanda : Tampak kecoklatan /putih susu pada pupil.
Peningkatan air mata.
3. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Ketidaknyamanan ringan/mata berair
4. Pembelajaran/Pengajaran
Gejala : Riwayat keluarga diabetes, gangguan sistem vaskuler.
Riwayat stres, alergi, gangguan vasomotor (contoh: peningkatan
tekanan vena), ketidakseimbangan endokrin, diabetes.
Terpajan pada radiasi, steroid/toksisitas fenotiazin.
Pertimbangan rencana pemulangan
DRG menunjukkan rerata lamanya dirawat:4,2 hari (biasanya
dilakukan sebagai prosedur pasien rawat jalan)..
Memerlukan bantuan dengan transportasi, penyediaan makanan,
perawatan/pemeliharaan rumah.
5. Prioritas Keperawatan
a. Mencegah penyimpangan penglihatan lanjut
b. meningkatkan adaptasi terhadap perubahan/penurunan ketajaman penglihatan.
c. mencegah komplikasi.
d. memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan
pengobatan.
6. Tujuan Pemulangan
a. penglihatan dipertahankan pada tingkat sebaik mungkin
b. pasien mengatasi situasi dengan tindakan positif.
c. komplikasi dicegah/minimal.
d. proses penyakit/prognosis dan program terapi dipahami.
10. Diagnosa Keperawatan
a. Diagnosa keperawatan yang muncul selama periode peri operasi (pre, intra,
dan post operasi) adalah:
b. Kecemasan berhubungan dengan kurang terpapar terhadap informasi tentang
prosedur tindakan pembedahan
c. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan prosedure tindakan invasiv
insisi jaringan tubuh
d. Nyeri berhubungan dengan perlukaan sekunder operasi miles prosedur
11. Perencanaan Keperawatan
Kecemasan berhubungan dengan kurang terpapar terhadap informasi tentang prosedur tindakan pembedahan
Tujuan/kriteria evaluasi:
a. Pasien mengungkapkan dan mendiskusikan rasa cemas/takutnya.
b. Pasien tampak rileks tidak tegang dan melaporkan kecemasannya berkurang
sampai pada tingkat dapat diatasi.
c. Pasien dapat mengungkapkan keakuratan pengetahuan tentang pembedahan
INTERVENSI RASIONAL
Kaji tingkat kecemasan pasien dan catat adanya tanda- tanda verbal dan nonverbal.
Beri kesempatan pasien untuk mengungkapkan isi pikiran dan perasaan takutnya.
Observasi tanda vital dan peningkatan respon fisik pasien
Beri penjelasan pasien tentang prosedur tindakan operasi, harapan dan akibatnya.
Beri penjelasan dan suport pada pasien pada setiap melakukan prosedur tindakan
Lakukan orientasi dan perkenalan pasien terhadap ruangan, petugas, dan peralatan yang akan digunakan.
.Derajat kecemasan akan dipengaruhi bagaimana informasi tersebut diterima oleh individu.
mengungkapkan rasa takut secara terbuka dimana rasa takut dapat ditujukan.
mengetahui respon fisiologis yang ditimbulkan akibat kecemasan.
meningkatkan pengetahuan pasien dalam rangka mengurangi kecemasan dan kooperatif.
mengurangi kecemasan dan meningkatkan pengetahuan .
mengurangi perasaan takut dan cemas.
Nyeri berhubungan dengan perlukaan sekunder operasi miles prosedur
Tujuan/kriteria evaluasi:
a. Klien mengungkapkan nyeri berkurang/hilang
b. Tidak merintih atau menangis
c. Ekspresi wajah rileks
d. Klien mampu beristrahat dengan baik.
INTERVENSI RASIONAL
Kaji nyeri, catat lokasi, karakteristik dan intensitas nyeri (skala 0-10).
Motivasi untuk melakukan teknik pengaturan nafas dan mengalihkan perhatian.
Hindari sentuhan seminimal mungkin untuk mengurangi rangsangan nyeri.
Berikan analgetik sesuai dengan program medis.
Untuk membantu mengetahui derajat ketidaknyamanan dan keefektifan analgesic sehingga memudahkan dalam memberi tindakan.
Tehnik relaksasi dapat mengurangi rangsangan nyeri.
Sentuhan dapat meningkatkan rangsangan nyeri.
Analgesik membantu memblok nyeri.
Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan prosedure tindakan invasiv insisi
jaringan tubuh (miles prosedur)
Tujuan/kriteria evalusi: Tidak terjadi penyebaran infeksi selama tindakan
prosedur pembedahan ditandai dengan penggunaan teknik antiseptik dan
desinfeksi secara tepat dan benar.
INTERVENSI RASIONAL
Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan secara tepat.
Ciptakan lingkungan ruangan yang bersih dan babas dari kontaminasi dunia luar
Jaga area kesterilan luka operasi Lakukan teknik aseptik dan desinfeksi
secara tepat dalam merawat luka Kolaborasi terapi medik pemberian
antibiotika profilaksis Melindungi klien dari sumber-sumber infeksi, mencegah infeksi silang. mengurangi kontaminasi dan paparan
pasien terhadap agen infektious. mencegah dan mengurangi transmisi kuman
mencegah kontaminasi patogen mencegah pertumbuhan dan perkembangan kuman.
Daftar Pustaka
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Vol. 3. EGC:
Jakarta.
Arif, mansjoer, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Media Aesculpius.: Jakarta.
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Medikal Keperawatan Vol.3. EGC: Jakarta
Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta


KANKER PARU

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.
Kanker paru merupakan penyebab kematian utama akibat kanker pada pria dan wanita.
Selama 50 tahun terakhir terdapat suatu peningkatan insidensi paru – paru yang
mengejutkan. America Cancer Society memperkirakan bahwa terdapat 1.500.000 kasua
baru dalam tahun 1987 dan 136.000 meningggal. Prevalensi kanker paru di negara maju
sangat tinggi, di USA tahun 1993 dilaporkan 173.000/tahun, di inggris 40.000/tahun,
sedangkan di Indonesia menduduki peringkat 4 kanker terbanhyak. Di RS Kanker
Dharmais Jakarta tahun 1998 tumor paru menduduki urutan ke 3 sesudah kanker
payudara dan leher rahim. Karena sistem pencatatan kita yang belum baik, prevalensi
pastinya belum diketahui tetapi klinik tumor dan paru di rumah sakit merasakan benar
peningkatannya. Sebagian besar kanker paru mengenai pria (65 %), life time risk 1:13
dan pada wanita 1:20. Pada pria lebih besar prevalensinya disebabkan faktor merokok
yang lebih banyak pada pria. Insiden puncak kanker paru terjadi antara usia 55 – 65
tahun.
Kelompok akan membahas Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kanker Paru
dengan kasus pada tuan J. Diharapkan perawat mampu memberikan asuhan keperawatan
yang efektif dana mampu ikut serta dalam upaya penurunan angka insiden kanker paru
melalui upaya preventif, promotof, kuratif dan rehabilitatif.
B. TUJUAN PENULISAN.
Mahasiswa mampu untuk memahami pengertian, etiologi, klasifikasi, stadium, pathway,
patofisiologi, pemeriksaan diagnostik, penatalaksanaan, dan asuhan keperawatan pada
klien dengan kanker paru.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS.
A. PENGERTIAN.
Tumor paru merupakan keganasan pada jaringan paru (Price, Patofisiologi, 1995).
Kanker paru merupakan abnormalitas dari sel – sel yang mengalami proliferasi dalam
paru (Underwood, Patologi, 2000).
B. ETIOLOGI.
Meskipun etiologi sebenarnya dari kanker paru belum diketahui, tetapi ada beberapa
faktor yang agaknya bertanggung jawab dalam peningkatan insiden kanker paru :
1. Merokok.
Tak diragukan lagi merupakan faktor utama. Suatu hubungan statistik yang defenitif telah
ditegakkan antara perokok berat (lebih dari dua puluh batang sehari) dari kanker paru
(karsinoma bronkogenik). Perokok seperti ini mempunyai kecenderung sepuluh kali lebih
besar dari pada perokok ringan. Selanjutnya orang perokok berat yang sebelumnya dan
telah meninggalkan kebiasaannya akan kembali ke pola resiko bukan perokok dalam
waktu sekitar 10 tahun. Hidrokarbon karsinogenik telah ditemukan dalam ter dari
tembakau rokok yang jika dikenakan pada kulit hewan, menimbulkan tumor.
2. Iradiasi.
Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di Schneeberg dan
penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50 % meninggal akibat kanker paru)
berkaitan dengan adanya bahan radioaktif dalam bentuk radon. Bahan ini diduga
merupakan agen etiologi operatif.
3. Kanker paru akibat kerja.
Terdapat insiden yang tinggi dari pekerja yang terpapar dengan karbonil nikel (pelebur
nikel) dan arsenic (pembasmi rumput). Pekerja pemecah hematite (paru – paru hematite)
dan orang – orang yang bekerja dengan asbestos dan dengan kromat juga mengalami
peningkatan insiden.
4. Polusi udara.
Mereka yang tinggal di kota mempunyai angka kanker paru yang lebih tinggi dari pada
mereka yang tinggal di desa dan walaupun telah diketahui adanya karsinogen dari
industri dan uap diesel dalam atmosfer di kota.
( Thomson, Catatan Kuliah Patologi,1997).
5. Genetik.
Terdapat perubahan/ mutasi beberapa gen yang berperan dalam kanker paru, yakni :
a. Proton oncogen.
b. Tumor suppressor gene.
c. Gene encoding enzyme.
Teori Onkogenesis.
Terjadinya kanker paru didasari oleh tampilnya gen suppresor tumor dalam genom
(onkogen). Adanya inisiator mengubah gen supresor tumor dengan cara menghilangkan
(delesi/del) atau penyisipan (insersi/ inS) sebagian susunan pasangan basanya, tampilnya
gen erbB1 dan atau neu/erbB2 berperan dalam anti apoptosis (mekanisme sel untuk mati
secara alamiah- programmed cell death). Perubahan tampilan gen kasus ini menyebabkan
sel sasaran dalam hal ini sel paru berubah menjadi sel kanker dengan sifat pertumbuhan
yang autonom. Dengan demikian kanker merupakan penyakit genetic yang pada
permulaan terbatas pada sel sasaran kemudian menjadi agresif pada jaringan sekitarnya.
Predisposisi Gen supresor tumor
Inisitor
Delesi/ insersi
Promotor
Tumor/ autonomi
Progresor
Ekspansi/ metastasis
6. Diet.
Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi betakaroten, seleniumdan vitamin A
menyebabkan tingginya resiko terkena kanker paru.
(Ilmu Penyakit Dalam, 2001).
C. KLASIFIKASI.
Klasifikasi menurut WHO untuk Neoplasma Pleura dan Paru – paru (1977) :
1. Karsinoma Bronkogenik.
a. Karsinoma epidermoid (skuamosa).
Kanker ini berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia,
atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor.
Terletak sentral sekitar hilus, dan menonjol kedalam bronki besar. Diameter tumor jarang
melampaui beberapa centimeter dan cenderung menyebar langsung ke kelenjar getah
bening hilus, dinding dada dan mediastinum.
b. Karsinoma sel kecil (termasuk sel oat).
Biasanya terletak ditengah disekitar percabangan utama bronki.Tumor ini timbul dari sel
– sel Kulchitsky, komponen normal dari epitel bronkus. Terbentuk dari sel – sel kecil
dengan inti hiperkromatik pekat dan sitoplasma sedikit. Metastasis dini ke mediastinum
dan kelenjar limfe hilus, demikian pula dengan penyebaran hematogen ke organ – organ
distal.
c. Adenokarsinoma (termasuk karsinoma sel alveolar).
Memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus.
Kebanyakan timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang – kadang dapat
dikaitkan dengan jaringan parut local pada paru – paru dan fibrosis interstisial kronik.
Lesi seringkali meluas melalui pembuluh darah dan limfe pada stadium dini, dan secara
klinis tetap tidak menunjukkan gejala – gejala sampai terjadinya metastasis yang jauh.
d. Karsinoma sel besar.
Merupakan sel – sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma
yang besar dan ukuran inti bermacam – macam. Sel – sel ini cenderung untuk timbul
pada jaringan paru - paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke
tempat – tempat yang jauh.
e. Gabungan adenokarsinoma dan epidermoid.
f. Lain – lain.
1). Tumor karsinoid (adenoma bronkus).
2). Tumor kelenjar bronchial.
3). Tumor papilaris dari epitel permukaan.
4). Tumor campuran dan Karsinosarkoma
5). Sarkoma
6). Tak terklasifikasi.
7). Mesotelioma.
8). Melanoma.
(Price, Patofisiologi, 1995).
D. MANIFESTASI KLINIS.
1. Gejala awal.
Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh obstruksi bronkus.
2. Gejala umum.
a. Batuk
Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor. Batuk mulai sebagai
batuk kering tanpa membentuk sputum, tetapi berkembang sampai titik dimana dibentuk
sputum yang kental dan purulen dalam berespon terhadap infeksi sekunder.
b. Hemoptisis
Sputum bersemu darah karena sputum melalui permukaan tumor yang mengalami
ulserasi.
c. Anoreksia, lelah, berkurangnya berat badan.
E. STADIUM.
Tabel Sistem Stadium TNM untuk kanker Paru – paru: 1986 American Joint Committee
on Cancer.
Stadium IV Setiap T, setiap N,M1
Tidak terbukti adanya tumor primer
Kanker yang tersembunyi terlihat pada sitologi bilasan bronkus tetapi tidak terlihat pada
radiogram atau bronkoskopi
Karsinoma in situ
Tumor dengan diameter ≤ 3 cm dikelilingi paru – paru atau pleura viseralis yang normal.
Tumor dengan diameter 3 cm atau dalam setiap ukuran dimana sudah menyerang pleura
viseralis atau mengakibatkan atelektasis yang meluas ke hilus; harus berjarak 2 cm distal
dari karina.
Tumor dalam setiap ukuran dengan perluasan langsung pada dinding dada, diafragma,
pleura mediastinalis, atau pericardium tanpa mengenai jantung, pembuluh darah besar,
trakea, esofagus, atau korpus vertebra; atau dalam jarak 2 cm dari karina tetapi tidak
melibat karina.
Tumor dalam setiap ukuran yang sudah menyerang mediastinum atau mengenai jantung,
pembuluh darah besar, trakea, esofagus, koepua vertebra, atau karina; atau adanya efusi
pleura yang maligna.
Tidak dapat terlihat metastasis pada kelenjar limfe regional.
Metastasis pada peribronkial dan/ atau kelenjar – kelenjar hilus ipsilateral.
Metastasis pada mediastinal ipsi lateral atau kelenjar limfe subkarina.
Metastasis pada mediastinal atau kelenjar – kelenjar limfe hilus kontralateral; kelenjar –
kelenjar limfe skalenus atau supraklavikular ipsilateral atau kontralateral.
Tidak diketahui adanya metastasis jauh
Metastasis jauh terdapat pada tempat tertentu (seperti otak).
Sputum mengandung sel – sel ganas tetapi tidak dapat dibuktikan adanya tumor primer
atau metastasis.
Karsinoma in situ.
Tumor termasuk klasifikasi T1 atau T2 tanpa adanya bukti metastasis pada kelenjar limfe
regional atau tempat yang jauh.
Tumor termasuk klasifikasi T1 atau T2 dan terdapat bukti adanya metastasis pada
kelenjar limfe peribronkial atau hilus ipsilateral.
Tumor termasuk klasifikasi T3 dengan atau tanpa bukti metastasis pada kelenjar limfe
peribronkial atau hilus ipsilateral; tidak ada metastasis jauh.
Setiap tumor dengan metastasis pada kelenjar limfe hilus tau mediastinal kontralateral,
atau pada kelenjar limfe skalenus atau supraklavikular; atau setiap tumor yang termasuk
klasifikasi T4 dengan atau tanpa metastasis kelenjar limfe regional; tidak ada metastasis
jauh.
Setiap tumor dengan metastsis jauh.
Sumber: (Price, Patofisiologi, 1995).
F. PATOFISIOLOGI.
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia
hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya
pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia,hyperplasia dan displasia. Bila
lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang
pleura, biasa timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus
vertebra.
Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini
menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian
distal. Gejala – gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis, dispneu, demam, dan
dingin.Wheezing unilateral dapat terdengan pada auskultasi.
Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya metastase,
khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur – struktur terdekat
seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium, otak, tulang rangka.
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK.
1. Radiologi.
a. Foto thorax posterior – anterior (PA) dan leteral serta Tomografi dada.
Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya kanker paru.
Menggambarkan bentuk, ukuran dan lokasi lesi. Dapat menyatakan massa udara pada
bagian hilus, effuse pleural, atelektasis erosi tulang rusuk atau vertebra.
b. Bronkhografi.
Untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
2. Laboratorium.
a. Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe).
Dilakukan untuk mengkaji adanya/ tahap karsinoma.
b. Pemeriksaan fungsi paru dan GDA
Dapat dilakukan untuk mengkaji kapasitas untuk memenuhi kebutuhan ventilasi.
c. Tes kulit, jumlah absolute limfosit.
Dapat dilakukan untuk mengevaluasi kompetensi imun (umum pada kanker paru).
3. Histopatologi.
a. Bronkoskopi.
Memungkinkan visualisasi, pencucian bagian,dan pembersihan sitologi lesi (besarnya
karsinoma bronkogenik dapat diketahui).
b. Biopsi Trans Torakal (TTB).
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer dengan ukuran < 2 cm,
sensitivitasnya mencapai 90 – 95 %.
c. Torakoskopi.
Biopsi tumor didaerah pleura memberikan hasil yang lebih baik dengan cara torakoskopi.
d. Mediastinosopi.
Umtuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening yang terlibat.
e. Torakotomi.
Totakotomi untuk diagnostic kanker paru dikerjakan bila bermacam – macam prosedur
non invasif dan invasif sebelumnya gagal mendapatkan sel tumor.
4. Pencitraan.
a. CT-Scanning, untuk mengevaluasi jaringan parenkim paru dan pleura.
b. MRI, untuk menunjukkan keadaan mediastinum.
H. PENATALAKSANAAN.
Tujuan pengobatan kanker dapat berupa :
a. Kuratif
Memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan hidup klien.
b. Paliatif.
Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.
c. Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal.
Mengurangi dampak fisis maupun psikologis kanker baik pada pasien maupun keluarga.
d. Supotif.
Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal sepertia pemberian nutrisi, tranfusi
darah dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti infeksi.
(Ilmu Penyakit Dalam, 2001 dan Doenges, rencana Asuhan Keperawatan, 2000)
1. Pembedahan.
Tujuan pada pembedahan kanker paru sama seperti penyakit paru lain, untuk mengankat
semua jaringan yang sakit sementara mempertahankan sebanyak mungkin fungsi paru –
paru yang tidak terkena kanker.
1. Toraktomi eksplorasi.
Untuk mengkomfirmasi diagnosa tersangka penyakit paru atau toraks khususnya
karsinoma, untuk melakukan biopsy.
2. Pneumonektomi pengangkatan paru).
Karsinoma bronkogenik bilaman dengan lobektomi tidak semua lesi bisa diangkat.
3. Lobektomi (pengangkatan lobus paru).
Karsinoma bronkogenik yang terbatas pada satu lobus, bronkiaktesis bleb atau bula
emfisematosa; abses paru; infeksi jamur; tumor jinak tuberkulois.
4. Resesi segmental.
Merupakan pengankatan satau atau lebih segmen paru.
5. Resesi baji.
Tumor jinak dengan batas tegas, tumor metas metik, atau penyakit peradangan yang
terlokalisir. Merupakan pengangkatan dari permukaan paru – paru berbentuk baji
(potongan es).
6. Dekortikasi.
Merupakan pengangkatan bahan – bahan fibrin dari pleura viscelaris)
2. Radiasi
Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif dan bisa juga
sebagai terapi adjuvant/ paliatif pada tumor dengan komplikasi, seperti mengurangi efek obstruksi/ penekanan terhadap pembuluh darah/ bronkus.
3. Kemoterafi.
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor, untuk menangani
pasien dengan tumor paru sel kecil atau dengan metastasi luas serta untuk melengkapi
bedah atau terapi radiasi.
I. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN KANKER PARU.
1. PENGKAJIAN.
a. Preoperasi (Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan,1999).
1). Aktivitas/ istirahat.
Gejala : Kelemahan, ketidakmampuan mempertahankan kebiasaan rutin,
dispnea karena aktivitas.
Tanda : Kelesuan( biasanya tahap lanjut).
2). Sirkulasi.
Gejala : JVD (obstruksi vana kava).
Bunyi jantung : gesekan pericardial (menunjukkan efusi).
Takikardi/ disritmia.
Jari tabuh.
3). Integritas ego.
Gejala : Perasaan taku. Takut hasil pembedahan
Menolak kondisi yang berat/ potensi keganasan.
Tanda : Kegelisahan, insomnia, pertanyaan yang diulang – ulang.
4). Eliminasi.
Gejala : Diare yang hilang timbul (karsinoma sel kecil).
Peningkatan frekuensi/ jumlah urine (ketidakseimbangan hormonal, tumor epidermoid)
5). Makanan/ cairan.
Gejala : Penurunan berat badan, nafsu makan buruk, penurunan masukan
makanan.
Kesulitan menelan
Haus/ peningkatan masukan cairan.
Tanda : Kurus, atau penampilan kurang berbobot (tahap lanjut)
Edema wajah/ leher, dada punggung (obstruksi vena kava), edema wajah/ periorbital
(ketidakseimbangan hormonal, karsinoma sel kecil)
Glukosa dalam urine (ketidakseimbangan hormonal, tumor epidermoid).
6). Nyeri/ kenyamanan.
Gejala : Nyeri dada (tidak biasanya ada pada tahap dini dan tidak selalu
pada tahap lanjut) dimana dapat/ tidak dapat dipengaruhi oleh perubahan posisi.
Nyeri bahu/ tangan (khususnya pada sel besar atau adenokarsinoma)
Nyeri abdomen hilang timbul.
7). Pernafasan.
Gejala : Batuk ringan atau perubahan pola batuk dari biasanya dan atau
produksi sputum.
Nafas pendek
Pekerja yang terpajan polutan, debu industri
Serak, paralysis pita suara.
Riwayat merokok
Tanda : Dispnea, meningkat dengan kerja
Peningkatan fremitus taktil (menunjukkan konsolidasi)
Krekels/ mengi pada inspirasi atau ekspirasi (gangguan aliran udara), krekels/ mengi
menetap; pentimpangan trakea ( area yang mengalami lesi).
Hemoptisis.
8). Keamanan.
Tanda : Demam mungkin ada (sel besar atau karsinoma)
Kemerahan, kulit pucat (ketidakseimbangan hormonal, karsinoma sel kecil)
9). Seksualitas.
Tanda : Ginekomastia (perubahan hormone neoplastik, karsinoma sel
besar)
Amenorea/ impotent (ketidakseimbangan hormonal, karsinoma sel kecil)
10). Penyuluhan.
Gejala : Faktor resiko keluarga, kanker(khususnya paru), tuberculosis
Kegagalan untuk membaik.
b. Pascaoperasi (Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, 1999).
- Karakteristik dan kedalaman pernafasan dan warna kulit pasien.
- Frekuensi dan irama jantung.
- Pemeriksaan laboratorium yang terkait (GDA. Elektolit serum, Hb dan Ht).
- Pemantauan tekanan vena sentral.
- Status nutrisi.
- Status mobilisasi ekstremitas khususnya ekstremitas atas di sisi yang di operasi.
- Kondisi dan karakteristik water seal drainase.
1). Aktivitas atau istirahat.
Gejala : Perubahan aktivitas, frekuensi tidur berkurang.
2). Sirkulasi.
Tanda : denyut nadi cepat, tekanan darah tinggi.
3). Eliminasi.
Gejala : menurunnya frekuensi eliminasi BAB
Tanda : Kateter urinarius terpasang/ tidak, karakteristik urine
Bisng usus, samara atau jelas.
4). Makanan dan cairan.
Gejala : Mual atau muntah
5). Neurosensori.
Gejala : Gangguan gerakan dan sensasi di bawah tingkat anastesi.
6). Nyeri dan ketidaknyamanan.
Gejala : Keluhan nyeri, karakteristik nyeri
Nyeri, ketidaknyamanan dari berbagai sumber misalnya insisi
Atau efek – efek anastesi.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN RENCANA KEPERAWATAN.
a. Preoperasi (Gale, Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi, 2000, dan Doenges,
Rencana Asuhan Keperawatan, 1999).
1). Kerusakan pertukaran gas
Dapat dihubungkan :
Hipoventilasi.
Kriteria hasil :
- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenisi adekuat dengan GDA dalam rentang
normal dan bebas gejala distress pernafasan.
- Berpartisipasi dalam program pengobatan, dalam kemampuan/ situasi.
Intervensi :
a) Kaji status pernafasan dengan sering, catat peningkatan frekuensi atau upaya
pernafasan atau perubahan pola nafas.
Rasional : Dispnea merupakan mekanisme kompensasi adanya tahanan jalan nafas.
b) Catat ada atau tidak adanya bunyi tambahan dan adanya bunyi tambahan, misalnya
krekels, mengi.
Rasional : Bunyi nafas dapat menurun, tidak sama atau tak ada pada area yang
sakit.Krekels adalah bukti peningkatan cairan dalam area jaringan sebagai akibat
peningkatan permeabilitas membrane alveolar-kapiler. Mengi adalah bukti adanya
tahanan atau penyempitan jalan nafas sehubungan dengan mukus/ edema serta tumor.
c) Kaji adanmya sianosis
Rasional : Penurunan oksigenasi bermakna terjadi sebelum sianosis. Sianosis sentral dari
“organ” hangat contoh, lidah, bibir dan daun telinga adalah paling indikatif.
d) Kolaborasi pemberian oksigen lembab sesuai indikasi
Rasional : Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran.
e) Awasi atau gambarkan seri GDA.
Rasional : Menunjukkan ventilasi atau oksigenasi. Digunakan sebagai dasar evaluasi
keefktifan terapi atau indikator kebutuhan perubahan terapi.
2). Bersihan jalan nafas tidak efektif.
Dapat dihubungkan :
- Kehilangan fungsi silia jalan nafas
- Peningkatan jumlah/ viskositas sekret paru.
- Meningkatnya tahanan jalan nafas
Kriteria hasil :
- Menyatakan/ menunjukkan hilangnya dispnea.
- Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan.
- Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/ mempertahankan bersiahn jalan nafas.
Intervensi :
a) Catat perubahan upaya dan pola bernafas.
Rasional : Penggunaan otot interkostal/ abdominal dan pelebaran nasal menunjukkan
peningkatan upaya bernafas.
b) Observasi penurunan ekspensi dinding dada dan adanya.
Rasional : Ekspansi dad terbatas atau tidak sama sehubungan dengan akumulasi cairan,
edema, dan sekret dalam seksi lobus.
c) Catat karakteristik batuk (misalnya, menetap, efektif, tak efektif), juga produksi dan
karakteristik sputum.
Rasional : Karakteristik batuk dapat berubah tergantung pada penyebab/ etiologi gagal
perbafasan. Sputum bila ada mungkin banyak, kental, berdarah, adan/ atau puulen.
d) Pertahankan posisi tubuh/ kepala tepat dan gunakan alat jalan nafas sesuai kebutuhan.
Rasional : Memudahkan memelihara jalan nafas atas paten bila jalan nafas pasein
dipengaruhi.
e) Kolaborasi pemberian bronkodilator, contoh aminofilin, albuterol dll. Awasi untuk
efek samping merugikan dari obat, contoh takikardi, hipertensi, tremor, insomnia.
Rasional : Obat diberikan untuk menghilangkan spasme bronkus, menurunkan viskositas
sekret, memperbaiki ventilasi, dan memudahkan pembuangan sekret. Memerlukan
perubahan dosis/ pilihan obat.
3). Ketakutan/Anxietas.
Dapat dihubungkan :
- Krisis situasi
- Ancaman untuk/ perubahan status kesehatan, takut mati.
- Faktor psikologis.
Kriteria hasil :
- Menyatakan kesadaran terhadap ansietas dan cara sehat untuk mengatasinya.
- Mengakui dan mendiskusikan takut.
- Tampak rileks dan melaporkan ansietas menurun sampai tingkat dapat diatangani.
- Menunjukkan pemecahan masalah dan pengunaan sumber efektif.
Intervensi :
a) Observasi peningkatan gelisah, emosi labil.
Rasional : Memburuknya penyakit dapat menyebabkan atau meningkatkan ansietas.
b) Pertahankan lingkungan tenang dengan sedikit rangsangan.
Rasional : Menurunkan ansietas dengan meningkatkan relaksasi dan penghematan energi.
c) Tunjukkan/ Bantu dengan teknik relaksasi, meditasi, bimbingan imajinasi.
Rasional : Memberikan kesempatan untuk pasien menangani ansietasnya sendiri dan
merasa terkontrol.
d) Identifikasi perspsi klien terhadap ancaman yang ada oleh situasi.
Rasional : Membantu pengenalan ansietas/ takut dan mengidentifikasi tindakan yang
dapat membantu untuk individu.
e) Dorong pasien untuk mengakui dan menyatakan perasaan.
Rasional : Langkah awal dalam mengatasi perasaan adalah terhadap identifikasi dan
ekspresi. Mendorong penerimaan situasi dan kemampuan diri untuk mengatasi.
4). Kurang pengetahuan mengenai kondisi, tindakan, prognosis.
Dapat dihubungkan :
- Kurang informasi.
- Kesalahan interpretasi informasi.
- Kurang mengingat.
Kriteria hasil :
- Menjelaskan hubungan antara proses penyakit dan terapi.
- Menggambarkan/ menyatakan diet, obat, dan program aktivitas.
- Mengidentifikasi dengan benar tanda dan gejala yang memerlukan perhatian medik.
- Membuat perencanaan untuk perawatan lanjut.
Intervensi :
a) Dorong belajar untuk memenuhi kebutuhan pasien. Beriak informasi dalam cara yang
jelas/ ringkas.
Rasional : Sembuh dari gangguan gagal paru dapat sangat menghambat lingkup perhatian
pasien, konsentrasi dan energi untuk penerimaan informasi/ tugas baru.
b) Berikan informasi verbal dan tertulis tentang obat
Rasional : Pemberian instruksi penggunaan obat yang aman memmampukan pasien untuk
mengikuti dengan tepat program pengobatan.
c) Kaji konseling nutrisi tentang rencana makan; kebutuhan makanan kalori tinggi.
Rasional : Pasien dengan masalah pernafasan berat biasanya mengalami penurunan berat
badan dan anoreksia sehingga memerlukan peningkatan nutrisi untuk menyembuhan.
d) Berikan pedoman untuk aktivitas.
Rasional : Pasien harus menghindari untuk terlalu lelah dan mengimbangi periode
istirahatdan aktivitas untuk meningkatkan regangan/ stamina dan mencegah konsumsi/
kebutuhan oksigen berlebihan.
b. Pascaoperasi (Doenges, Rencana Asuhan Keperawatan, 1999).
1). Kerusakan pertukaran gas.
Dapat dihubungkan :
- Pengangkatan jaringan paru
- Gangguan suplai oksigen
- Penurunan kapasitas pembawa oksigen darah (kehilangan darah).
Kriteria hasil :
- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam
rentang normal.
- Bebas gejala distress pernafasan.
Intervensi :
a) Catat frekuensi, kedalaman dan kemudahan pernafasan. Observasi penggunaan otot
bantu, nafas bibir, perubahan kulit/ membran mukosa.
Rasional : Pernafasan meningkat sebagai akibat nyeri atau sebagai mekanisme
kompensasi awal terhadap hilangnya jaringan paru.
b) Auskultasi paru untuk gerakamn udara dan bunyi nafas tak normal.
Rasional : Konsolidasi dan kurangnya gerakan udara pada sisi yang dioperasi normal
pada pasien pneumonoktomi. Namun, pasien lubektomi harus menunjukkan aliran udara
normal pada lobus yang masih ada.
c) Pertahankan kepatenan jalan nafas pasien dengan memberikan posisi, penghisapan,
dan penggunaan alat
Rasional : Obstruksi jalan nafas mempengaruhi ventilasi, menggangu pertukaran gas.
d) Ubah posisi dengan sering, letakkan pasien pada posisi duduk juga telentang sampai
posisi miring.
Rasional : Memaksimalkan ekspansi paru dan drainase sekret.
e) Dorong/ bantu dengan latihan nafas dalam dan nafas bibir dengan tepat.
Rasional : Meningkatkan ventilasi maksimal dan oksigenasi dan menurunkan/ mencegah
atelektasis.
2). Bersihan jalan nafas tidak efektif
Dapat dihubungkan :
- Peningkatan jumlah/ viskositas sekret
- Keterbatasan gerakan dada/ nyeri.
- Kelemahan/ kelelahan.
Kriteria hasil :
Menunjukkan patensi jalan nafas, dengan cairan sekret mudah dikeluarkan, bunyi nafas
jelas, dan pernafasan tak bising.
Intervensi :
a) Auskultasi dada untuk karakteristik bunyi nafas dan adanya sekret.
Rasional : Pernafasan bising, ronki, dan mengi menunjukkan tertahannya sekret dan/ atau
obstruiksi jalan nafas.
b) Bantu pasien dengan/ instruksikan untuk nafas dalam efektif dan batuk dengan posisi
duduk tinggi dan menekan daerah insisi.
Rasional : Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksimal dan penekanan
menmguatkan upaya batuk untuk memobilisasi dan membuang sekret. Penekanan
dilakukan oleh perawat.
c) Observasi jumlah dan karakter sputum/ aspirasi sekret.
Rasional : Peningkatan jumlah sekret tak berwarna / berair awalnya normal dan harus
menurun sesuai kemajuan penyembuhan.
d) Dorong masukan cairan per oral (sedikitnya 2500 ml/hari) dalam toleransi jantung.
Rasional : Hidrasi adekuat untuk mempertahankan sekret hilang/ peningkatan
pengeluaran.
e) Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, dan/ atau analgetik sesuai indikasi.
Rasional : Menghilangkan spasme bronkus untuk memperbaiki aliran udara,
mengencerkan dan menurunkan viskositas sekret.
3). Nyeri (akut).
Dapat dihubungkan :
- Insisi bedah, trauma jaringan, dan gangguan saraf internal.
- Adanya selang dada.
- Invasi kanker ke pleura, dinding dada
Kriteria hasil :
- Melaporkan neyri hilang/ terkontrol.
- Tampak rileks dan tidur/ istirahat dengan baik.
- Berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan/ dibutuhkan.
Intervensi :
a) Tanyakan pasien tentang nyeri. Tentukan karakteristik nyeri. Buat rentang intensitas
pada skala 0 – 10.
Rasional : Membantu dalam evaluasi gejala nyeri karena kanker. Penggunaan skala
rentang membantu pasien dalam mengkaji tingkat nyeri dan memberikan alat untuk
evaluasi keefktifan analgesic, meningkatkan control nyeri.
b) Kaji pernyataan verbal dan non-verbal nyeri pasien.
Rasional : Ketidaklsesuaian antar petunjuk verbal/ non verbal dapat memberikan
petunjuk derajat nyeri, kebutuhan/ keefketifan intervensi.
c) Catat kemungkinan penyebab nyeri patofisologi dan psikologi.
Rasional : Insisi posterolateral lebih tidak nyaman untuk pasien dari pada insisi
anterolateral. Selain itu takut, distress, ansietas dan kehilangan sesuai diagnosa kanker
dapat mengganggu kemampuan mengatasinya.
d) Dorong menyatakan perasaan tentangnyeri.
Rasional : Takut/ masalah dapat meningkatkan tegangan otot dan menurunkan ambang
persepsi nyeri.
e) Berikan tindakan kenyamanan. Dorong dan ajarkan penggunaan teknik relaksasi
Meningkatkan relaksasi dan pengalihan perhatian.
4). Anxietas.
Dapat dihubungkan:
- Krisis situasi
- Ancaman/ perubahan status kesehatan
- Adanya ancman kematian.
Kriteria hasil :
- Mengakui dan mendiskusikan takut/ masalah
- Menunjukkan rentang perasaan yang tepat dan penampilan wajah tampak rileks/
istirahat
- Menyatakan pengetahuan yang akurat tentang situasi.
Intervensi :
a) Evaluasi tingkat pemahaman pasien/ orang terdekat tentang diagnosa.
Rasional : Pasien dan orang terdekat mendengar dan mengasimilasi informasi baru yang
meliputi perubahan ada gambaran diri dan pola hidup. Pemahaman persepsi ini
melibatkan susunan tekanan perawatan individu dan memberikan informasi yang perlu
untuk memilih intervensi yang tepat.
b) Akui rasa takut/ masalah pasien dan dorong mengekspresikan perasaan
Rasional : Dukungan memampukan pasien mulai membuka atau menerima kenyataan
kanker dan pengobatannya.
c) Terima penyangkalan pasien tetapi jangan dikuatkan.
Rasional : Bila penyangkalan ekstrem atau ansiatas mempengaruhi kemajuan
penyembuhan, menghadapi isu pasien perlu dijelaskan dan emebuka cara
penyelesaiannya.
d) Berikan kesempatan untuk bertanya dan jawab dengan jujur. Yakinkan bahwa pasien
dan pemberi perawatan mempunyai pemahaman yang sama.
Rasional : Membuat kepercayaan dan menurunkan kesalahan persepsi/ salah interpretasi
terhadap informasi..
e) Libatkan pasien/ orang terdekat dalam perencanaan perawatan. Berikan waktu untuk
menyiapkan peristiwa/ pengobatan.
Rasional : Dapat membantu memperbaiki beberapa perasaan kontrol/ kemandirian pada
pasien yang merasa tek berdaya dalam menerima pengobatan dan diagnosa.
f) Berikan kenyamanan fiik pasien.
Rasional : Ini sulit untuk menerima dengan isu emosi bila pengalaman ekstrem/
ketidaknyamanan fisik menetap.
5). Kurang pengetahuan mengenai kondisi, tindakan, prognosis.
Dapat dihubungkan :
- Kurang atau tidak mengenal informasi/ sumber
- Salah interperatasi informasi.
- Kurang mengingat
Kriteria hasil :
- Menyatakan pemahaman seluk beluk diagnosa, program pengobatan.
- Melakukan dengan benar prosedur yang perlu dan menjelaskan alas an tindakan
tersebut.
- Berpartisipasi dalam proses belajar.
- Melakukan perubahan pola hidup.
Intervensi :
a) Diskusikan diagnosa, rencana/ terapi sasat ini dan hasil yang diharapkan.
Rasional : Memberikan informasi khusus individu, membuat pengetahuan untuk belajar
lanjut tentang manajemen di rumah. Radiasi dan kemoterapi dapat menyertai intervensi
bedah dan informasi penting untuk memampukan pasien/ orang terdekat untuk membuat
keputusan berdasarkan informasi.
b) Kuatkan penjelasan ahli bedah tentang prosedur pembedahan dengan memberikan
diagram yang tepat. Masukkan informasi ini dalam diskusi tentang harapan jangka
pendek/ panjang dari penyembuhan.
Rasional : Lamanya rehabilitasi dan prognosis tergantung pada tipe pembedahan, kondisi
preoperasi, dan lamanya/ derajat komplikasi.
c) Diskusikan perlunya perencanaan untuk mengevaluasi perawatan saat pulang.
Rasional : Pengkajian evaluasi status pernafasan dan kesehatan umum penting sekali
untuk meyakinkan penyembuhan optimal. Juga memberikan kesempatan untuk merujuk
masalah/ pertanyaan pada waktu yang sedikit stres.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Tn J usia 45 tahun, alamat Rowosari, Gubug Grobogan, status menikah dan mempunyai
anak 4 orang anak, saat ini sedang dirawat di C3 RSDK. Saat ini keluhan yang dirasakan
adalah sesak nafas. Mempunyai riwayat merokok 10 tahun yang lalu dimana
frekunesinya 15 batang perhari. Saat ini dirawat sudah 17 hari. Pasien merasa tidak
berdaya jika sesak nafasnya bertambah berat. Pasien merasa tidak nyaman dan sesak
nafas bila berbaring. Hasil pemeriksaan laboratorium : Hb 12,6 gr%, Ht 34,7 %, leukosit
4400 /ml, trombosit 191000/ml, kreatinin 2,40 mg/dl.
Pasien tersebut mendapatkan terapi : infuse RL 12 tts/ menit, Aminophilin 3 x 500 mg
dan injeksi Dexamethasone 3 x 2 ampul.
Diagnosa medis : Ca Paru Dextra.
A. PENGKAJIAN.
Pada kasus di dapatkan data :
Identitas : nama Tn.J, jenis kelamin laki – laki, alamat Rowosari, Gubug grobogan, Status
menikah, Diagnosa medik Ca Paru Dextra.
Riwayat kesehatan : Mempunyai riwayat merokok 10 tahun yang lalu dimana
frekuensinya 15 batang perhari, Sudah dirawat selama 17 hari; Keluhan : sesak nafas,
tidak nyaman dan sesak nafas bila berbaring.
Laboratorium : Hb 12,6 gr%, Ht 34,7 %, leulosit 4400 /ml, trombosit, 191000 /ml,
kreatinin 2,40 mg/dl
Pengobatan : infuse RL 12 tts/mnt, Aminophillin 3 x 500 mg, dan injeksi Dexamethason
3 x 2 ampul.
Penatalaksanaan : direncanakan pembedahan dengan Anesthesi General umum.
B. ANALISA DATA.
Dari keluhan yang didapat maka diagnosa yang dapat timbul yaitu :
1. Kerusakan pertukaran gas
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN DAN RENCANA KEPERAWATAN.
1. Kerusakan pertukaran gas
Dapat dihubungkan :
Hipoventilasi.
Kriteria hasil :
- Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenisi adekuat dengan GDA dalam rentang
normal dan bebas gejala distress pernafasan.
- Berpartisipasi dalam program pengobatan, dalam kemampuan/ situasi.
Intervensi :
a) Kaji status pernafasan dengan sering, catat peningkatan frekuensi atau upaya
pernafasan atau perubahan pola nafas.
Rasional : Dispnea merupakan mekanisme kompensasi adanya tahanan jalan nafas.
b) Catat ada atau tidak adanya bunyi tambahan dan adanya bunyi tambahan, misalnya
krekels, mengi.
Rasional : Bunyi nafas dapat menurun, tidak sama atau tak ada pada area yang
sakit.Krekels adalah bukti peningkatan cairan dalam area jaringan sebagai akibat
peningkatan permeabilitas membrane alveolar-kapiler. Mengi adalah bukti adanya
tahanan atau penyempitan jalan nafas sehubungan dengan mukus/ edema serta tumor.
c) Kaji adanmya sianosis
Rasional : Penurunan oksigenasi bermakna terjadi sebelum sianosis. Sianosis sentral dari
“organ” hangat contoh, lidah, bibir dan daun telinga adalah paling indikatif.
d) Kolaborasi pemberian oksigen lembab sesuai indikasi
Rasional : Memaksimalkan sediaan oksigen untuk pertukaran.
e) Awasi atau gambarkan seri GDA.
Rasional : Menunjukkan ventilasi atau oksigenasi. Digunakan sebagai dasar evaluasi
keefktifan terapi atau indikator kebutuhan perubahan terapi.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif.
Dapat dihubungkan :
- Kehilangan fungsi silia jalan nafas
- Peningkatan jumlah/ viskositas sekret paru.
- Meningkatnya tahanan jalan nafas
Kriteria hasil :
- Menyatakan/ menunjukkan hilangnya dispnea.
- Mempertahankan jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih
- Mengeluarkan sekret tanpa kesulitan.
- Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki/ mempertahankan bersihan jalan nafas.
Intervensi :
a) Catat perubahan upaya dan pola bernafas.
Rasional : Penggunaan otot interkostal/ abdominal dan pelebaran nasal menunjukkan
peningkatan upaya bernafas.
b) Observasi penurunan ekspensi dinding dada dan adanya.
Rasional : Ekspansi dad terbatas atau tidak sama sehubungan dengan akumulasi cairan,
edema, dan sekret dalam seksi lobus.
c) Catat karakteristik batuk (misalnya, menetap, efektif, tak efektif), juga produksi dan
karakteristik sputum.
Rasional : Karakteristik batuk dapat berubah tergantung pada penyebab/ etiologi gagal
perbafasan. Sputum bila ada mungkin banyak, kental, berdarah, adan/ atau puulen.
d) Pertahankan posisi tubuh/ kepala tepat dan gunakan alat jalan nafas sesuai kebutuhan.
Rasional : Memudahkan memelihara jalan nafas atas paten bila jalan nafas pasein
dipengaruhi.
e) Kolaborasi pemberian bronkodilator, contoh aminofilin, albuterol dll. Awasi untuk
efek samping merugikan dari obat, contoh takikardi, hipertensi, tremor, insomnia.
Rasional : Obat diberikan untuk menghilangkan spasme bronkus, menurunkan viskositas
sekret, memperbaiki ventilasi, dan memudahkan pembuangan sekret. Memerlukan
perubahan dosis/ pilihan obat.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus masih terdapat data – data pengkajian, baik berupa identitas klien, riwayat
kesehatan, dan laboratorium yang kurang jika kita kaitkan dengan tinjauan teori.
1. Secara ilmu fisiologi dan patofisiologi, proses penyakitnya dapat digambarkan sebagai
berikut :
Dari riwayat merokok Tn. J yang dapat dikatakan sebagai faktor resiko dari Ca Paru. Dari
etiologi tau faktor resiko tersebut yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus
menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen.
Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia,hyperplasia dan
displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hyperplasia dan displasia
menembus ruang pleura, biasa timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada
kosta dan korpus vertebra.
Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini
menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian
distal. Dari mekanisme diatas dpat menyebakan klein mengeluh sesak nafas dan nyeri.
Jika klien merasa tidak nyaman dan sesak nafas bila berbaring, karten pada waktu
berbaring pengembangan paru tidak maximal.
2. Dilihat secara histologi, perkembangan yang terjadi pada paru – paru kanan tuan J
dapat dikategorikan dalam jenis karsinoma sel skuamosa yang mempunyai hubungan
dekat dengan faktor resiko merokok. Tetapi untuk diagnosa yang lebih lanjut (oleh
dokter)atau memastikan jenis karsinoma, maka diperlukan pemeriksaan – pemeriksaan
lainnya seperti laboratorium, radiology, histopatologi, dan pencitraan.
3. Pemeriksaan diagnostik tambahan yang dapat dilakukan adalah : pemeriksaan
laboratorium (sputum, pleural, atau nodus limfe, pemeriksaan fungsi paru dan GDA, tes
kulit, jumlah absolute limfosit), pemeriksaan histopatologi, dan pencitraan.
a. Radiologi.
- Foto thorax.
Untuk mengetahui adanya pembesaran massa atau tidak dan letak pembesaran tersebut.
- CT Scan.
Dapat memberikan bantuan lebih lanjut dalam membedakan lesi – lesi yang dicurigai.
- Bronkoskopi.
Bronkoskopi yang sertai dengan biopsi untuk mendiagnosis jenis karsinoma yang terjadi.
- Biopsi kelenjar skalenus.
Cara terbaik untuk mendiagnosis kanker yang tidak terjangkau oleh bronkoskopi.
b. Pemeriksaan Sitologi.
Sputum rutin, dikerjakan terutama bila ada keluhan seperti batuk.
Pemeriksaan sitologi tidak selalu memberikan hasil yang berarti karena tergantung pada :
- Letak tumor terhadap bronkus.
- Jenis tumor.
- Teknik mengeluarkan sputum.
- Jumlah sputum yang diperiksa (dianjurkan pemeriksaan 3 – 5 hari berturut – turut).
- Waktu pemeriksaan sputum.
Pada kanker paru yang letaknya sentral pemeriksaan sputum yang baik dapat
memberikan hasil positif sampai 67 – 85 % pada karsinoma sel skuamosa. Sehingga
untuk Tn. J dapat dilakukan sitologi ini untuk mamastikan apakah termasuk dalam kanker
paru sel skuamosa.
PEMERIKSAAN TUAN J HARGA NORMAL
Hemoglobin (Hb)
Hematokrit (Ht)
Leukosit
Trombosit
Kreatinin 12,6 gr%
34,7 %
4400 ml
191000 /ml
2,40 mg/ml 13 – 18 gr%
42 – 52 %
4500 – 10800 ml
150000 – 300000 /ml
0,5 – 1,4 mg/ml
Pada Tn. J ditemukan hasil laboratorium Hb, Ht, Leukosit, Trombosit mmasih dalam
batas normal dan belum ada perubahan yang berarti tetapi biasanya pada keadaan lebih
lanjut dapat terjadi anemia dan polisitemia. Anemia terjadi sebagai akibat dari metastase
kanker paru keorgan lain seperti hati, limpa dan tulang belakang, yang berkaitan dengan
proses pembentukan dari sel darah merah. Sedangkan polisitemia yang dapat
berhubungan dengan merokok cigarette karena kontak dengan karbon monoksida kronik
mempertinggi eritrositosis. Hemoglobin diproduksi dan difagositosis terutama di hati,
limpa dan sumsum tulang. Dimana pada salah satu proses yaitu sisa hem direduksi
menjadi menjadi karbon monoksida (CO) dan beliverdin. CO ini diangkut dalam bentuk
karboksi hemoglobin, dan dikeluarkan melalui paru. Jika paru terkena kanker maka
proses ini akan mengalami gangguan, dan CO terus dibentuk dan tidak dikeluarkan akan
mempertinggi eritrositosis.
Hasil laboratorium kreatinin meningkat, ini menunjukkan bahwa Tn. J fungsi ginjalnya
sudah mulai terganggu. Ini disebabkan ekstra torak. Penyebaran ekstra torak tergantung
dari tempat metastase. Struktur yang sering terkena adalah kelenjar getah bening skalenus
(terutama pada tumor paru – paru), adrenal (50%), hati (30%), otak (20%), tulang (20%),
dan ginjal (15%).
• Nilai tersebut 12,6 gr % ( N: 13-14 gr %)
Berarti turun 0,4 % perlu dari observasi, bila penurunan tersebut terjadi secara signifikan
maka perlu diberikan transfusi darah. 1 Olef (250 cc menaikkan 0,5 mg tersebut ).
• Nilai tersebut 34,7 % Normal
Terjadi penurunan komponen sel-sel darah merah dalam plasma hal ini dikarenakan selsel
cancer pada Tn.J akan merusak sel darah merah( hemolisis ).
• Leukosit 4400/ ml ( N : 4000-10000 / ml )
Pada TN.J belum terjadi penurunan, tetapi biasanya pada Ca paru akan terjadi
Leukopenia karena fungsi sel darah putih akan dirusak oleh sel-sel cancer.
• Trombosit 191000 / ml ( N : 150-450 ribu )
Trombosit : Normal tetapi perlu diobservasi adanya penurunan trombosit. Karena pada
Ca paru stadium lanjut akan terjadi pendarahan / hemoptomesis.
• Kreatinin 2 mg / dl ( N : 0,3-1,1 mg / dl )
Pada Tn.J terjadi kenaikan kreatinin yang cukup signifikan, yang mengindikasikan
kerusakan ginjal. Ini bisa disebabkan karena ginjal diperdarahi oleh arteri renalis. Arteri
ini menyalurkan O2 dari paru-paru, pada Ca paru-paru O2 turun sehingga darah yang
dibawa oleh arteri renalis miskin O2 sehingga akan merusak ginjal dan kemampuan
filtrasi pada glomerulus akan mengalami penurunan yang menyebabkan kreatinin naik
karena banyaknya lolos waktu yang di filtrasi.
4. Jika dilihat secara farmakologi, pengobatan yang diberikan pada Tn. J masih kurang
tepat. Jika di kaitkan denga keluhan pasien memang obat yang diberikan dapat
meringankan gejala saja, tetapi khusus untuk penyakitnya (Ca Paru) belum dapat
menyembuhkannya. Untuk kanker paru pengobatannya lebih bersifat pembedahan.
Chemotherapi juga sangat penting untuk diberikan sebagai pembunuh sel-sel kanker
dosis pemberian disesuaikan dengan derajat keganasan Ca pada TN. J
Aminophillin : Tn. J mendapat terapi Aminophillin 3 X 500 mg. Diberikan aminophillin
karena merupakan obat bronkodilator yang membebaskan obstruksi jalan nafas seperti
pada asma kronis dan mengurangi gejala dari penyakit kronik, juga merupakan salah satu
derivate Xanthine yang mempunyai kegunaan sebagai perangsang pernafasan dengan
relaksasi otot polos bronkus. Alangkah baiknya Aminoppilin dimasukan secara
perdrip.Hal ini dimaksudkan supaya kerja Aminoppilin sebagai bronkodilator lebih cepat
dibandingkan peroral [kasus], karena pada kasus Tn. J mengalami sesak nafas berat, baru
setelah sesak nafasnya berkurang baru bisa diberikan peroral. Perlu ditambahkan data BB
dan TB untuk menentukan dosis obat yang diberikan
Dexamethason : tidak mempunyai efek langsung pada otot polos saluran nafas, tetapi
hanya untuk menurunkan jumlah dan aktivitas sel – sel yang terlibat dalam inflamasi
saluran nafas. Golongan steroid anti inflamasi mengurangi inflamasi dengan
menghilangkan, menghambat pelepasan leukotrien reaktivitas bronchial sangat
berkurang.
Menurut DOI yaitu 0,4-0,6 mg / Kg BB di buat rata-rata: 0,5 mg / Kg BB, karenatidak
ada data BB, misal diperkirakan Tn. J. 50 Kg:
Berarti : 50 Kg x 0,5 mg = 250 mg / hr, sedangkan dosis Tn. J : 3 x 2 ampul x 1 ampul =5 mg
= 3 x 10 ampul
= 3 x 50 ampul = 300 mg / hr
Antibiotik yang bertujuan untuk mencegah terjadinya komplikasi infeksi yang akan
terjadi, karena pada kanker paru terjadi lesi pada lapisan pleura dan jaringan yang lain apabila sudah bermetastasis sehingga dapat terjadi hemoptisis. Dengan adanya hemoptisis sebagai indikasi perdarahan didalam tersebut dapat menyebabkan infeksi, dimana kanker paru dapat menyebar secara hematogen yang memungkinkan membawa agen virus atau bakteri. Tetapi pada pasien Tn. J nilai leukositnya masih normal : yaitu 4400 ( N : 4000-10000). Sehingga berdasarkan terapi rasional untuk sementara antibiotic belum perlu untuk diberikan.
5. Terapi cairan yang diberikan kepada Tn. J yaitu RL 12 tts/menit, lebih dimaksudkan
sebagai cairan untuk transport obat yang diberikan. Biasanya pemberian aminophillin
dalam bentuk drip. Tetapi dapat disaran untuk memberikan infuse dextrose 5% karena
mengandung glukosa sebagai penambah energi, karena indikasi klien mengalami
gangguan dalam pemenuhan kebutuhan akan nutrisi dan cairan yang dapat disebabkan
rasa tidak nyaman didada dan sesak nafas. Selain itu dari hasil analisa kelompok, perlu
ditambahkan therapy O2 karena pada kasus Ca paru, kerja paru menurun sehingga
produk O2 kuat untuk dibawa ke jantung dan disirkulasikan ke seluruh tubuh.
6. Pengaruh yang mungkin terjadi pada Tn. J pada status pernafasannya yang akan
dilakukan Anesthesi General umum :
a. Apneu.
b. Arrest.
c. Hipotensi
d. Ancaman gagal nafas
Hal – hal yang perlu diperhatikan terkait dengan tindakan post operasi yaitu :
a. Observasi tanda vital dan keadaan umum.
b. Posisi pasien ditempat tidur
c. Pantau drainage
d. Ventilasi dan reekspansi paru
e. Evaluasi mobilitas ekstremitas atas pada sisi yang dioperasi.
f. Pemantauan insisi terhadap perdarahan atau emfisema subkutan.
BAB V
P E N U T U P
A. KESIMPULAN.
1. Kanker paru merupakan penyebab kematian utama akibat kanker pada wanita maupun
pria, yang sering kali di sebabkan oleh merokok.
2. Setiap tipe timbul pada tempat atau tipe jaringan yang khusus, menyebabkan
manifestasi klinis yang berbeda, dan perbedaan dalam kecendrungan metastasis dan
prognosis.
3. Karena tidak ada penyembuhan dari kanker, penekanan utama adalah pada pencegahan
misalnya dengan berhenti merokok karena perokok mempunyai peluang 10 kali lebih
besar untuk mengalami kanker paru di bandingkan bukan perokok, dan menghindari
lingkungan polusi.
4. Pengobatan pilihan dari kanker paru adalah tindakan bedah pengangkatan tumor.
Sayangnya, sepertiga dari individu tidak dapat dioperasi ketika mereka pertama kali
didiagnosa.
5. Asuhan keperawatan pascaoperasi klien setelah bedah toraks berpusat pada
peningkatan ventilasi dan reekspansi paru dengan mempertahankan jalan nafas yang
bersih, pemeliharaan sistem drainage tertutup, meningkatkan rasa nyaman dengan
peredaran nyeri, meningkatkan masukan nutrisi, dan pemantauan insisi terhadap
perdarahan dan emfisema subkutan.
B. SARAN.
1. Dalam menerapkan Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Kanker Paru diperlukan
pengkajian, konsep dan teori oleh seorang perawat.
2. Informasi atau pendidkan kesehatan berguna untuk klien dengan kanker paru misalnya
mengurangi atau menghentikan kebiasaan merokok, memperhatikan lingkungan kerja
terkait dengan polusinya.
3. Dukungan psikologik sangat berguna untuk klien.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E, (1999), Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3, EGC, Jakarta
Long, Barbara C, (1996), Perawatan Medikal Bedah; Suatu Pendekatan Proses Holistik,
Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Padjajaran, Bandung.
Suyono, Slamet, (2001), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, Balai Penerbit
FKUI, Jakarta.
Underwood, J.C.E, (1999), Patologi Umum dan Sistematik, Edisi 2, EGC, Jakarta.


Free Sms Online

INFO MEDIS

My Acount Virtapay.com

http://www.virtapay.com/r/qun